Jumat, 20 Agustus 2010

Solid, Olrait, Sombong KKNM Kertasari 2010 (Part 2)

Kami membutuhkan waktu kurang lebih 5-6 jam untuk bisa sampai ke Desa Kertasari. Di dalam bus nomor 69, saya duduk bersama Anggra. Anggra adalah teman Winnie, dan dia adalah orang pertama yang menyapa saya di jejaring sosial Facebook, berbasa-basi tentang kegiatan KKNM dan sedikit-sedikit membahas tentang Winnie; kemudian kami melanjutkan komunikasi lewat pesan singkat, saling bertanya tentang barang-barang yang akan dibawa untuk KKNM nanti, dan masih banyak lagi percakapan lainnya. Selama perjalanan, kami berbincang banyak hal, tentang ponsel, keluarga, dan banyak lagi. Genre musik yang kami sukai kebanyakan sama, oleh karena itu Anggra ‘merampok’ cukup banyak koleksi lagu yang saya miliki di ponsel. Setelah beberapa lama berbincang, Anggra tertidur, namun saya tidak dapat sedetik pun memejamkan mata meski malam sebelum keberangkatan saya hanya tidur selama satu jam. Saya hanya duduk termenung sambil melihat pemandangan diluar bus.

Cukup bosan melihat-lihat jalan, pandangan saya beralih pada dua orang lelaki yang duduk di barisan depan saya dan Anggra, mereka adalah Hendra dan Thorry. Dari pertemuan pertama hingga pertemuan-pertemuan berikutnya, saya tidak terlalu memperhatikan mereka. Bahkan saya pikir Hendra yang memiliki panggilan Ciha tidak datang di pertemuan pertama kami di Che.Co. Ketika kelompok kami memiliki group di Facebook, Ciha banyak berkomentar, begitu pula banyak komentar yang dia berikan di foto-foto hasil survey yang dilakukan tim pendahulu. Berbanding terbalik dengan ‘ke-cerewet-an’ dia di Facebook, Ciha menurut saya aslinya sangat diam. Dalam bus, dia duduk menggunakan penutup mata warna hitam, mengenakan headset, dan gesturenya menampakan bahwa dia menikmati lagu-lagu yang sedang dia dengarkan. Selaras dengan Ciha, sosok Thorry di mata saya sungguh sangat pendiam, lebih pendiam dari Ciha tepatnya. Dari pertemuan pertama, pembekalan, dan pertemuan selanjutnya, dia sangat minim berbicara, hanya menjadi penyimak. Walau demikian, Thorry selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan kami. Ketika awal pembekalan, dia duduk terpisah dengan kami (seperti Asni), namun seterusnya, Thorry ikut bergabung bersama barisan.

Hal menarik lainnya yang saya temui di dalam bus adalah ST12 dan kangen Band. Perjalanan yang kami tempuh menurut saya pribadi sangat berkesan karena diiringi oleh kedua band tersebut. Bukan apa-apa, saya mendengar banyak cerita dari teman-teman sekelas yang sudah melaksanakan KKNM di gelombang 1 bahwa selama KKNM, mereka jarang sekali mendengarkan suara Justin Bieber, Craig David, apalagi The Bird and The Bee. Musik andalan yang sering mereka dengarkan adalah Mau di Bawa Kemana (Armada), Keterlaluan (The Potters), Isabella (ST12), dan masih banyak lagi lagu dari band-band ternama di Indonesia. Ketika mendengarkan lagu-lagu ST12, saya tersenyum sendiri. Bukan karena saya sok Inggris dan meremehkan lagu-lagu tersebut, namun saya tersenyum karena kebenaran tentang cerita teman-teman saya terbukti di dalam bus nomor 69. Saya langsung telepon Risya, sahabat saya yang sangat bersemangat ketika menceritakan fenomena Band Indonesia di wilayah kegiatan KKNMnya di bulan Januari lalu. Dia juga tertawa puas ketika saya menceritakan pengalaman yang sama dengan dia.

Kurang lebih 4 jam sudah kami melakukan perjalanan, dikurangi waktu istirahat selama 20 menit. Rombongan bus berisi para mahasiswa yang melakukan kegiatan KKNM di daerah Tasikmalaya, tepatnya di daerah Cipatujah diturunkan di kantor kecamatan. Ada kejadian berkesan ketika kami tiba disana. Ketika perangkat kecamatan mulai mengomando para mahasiswa untuk berkumpul di aula, kelompok saya dengan sok tahu mengikuti rombongan yang masuk kedalam sebuah ruangan. Ternyata setelah ditelusuri, rombongan tersebut bukan pergi ke aula, tetapi ke toilet. Denganwajah polos kami keluar kembali dari ruangan itu dan duduk manis di aula. Disana kami disambut dengan baik oleh seluruh perangkat kecamatan.

Perjalanan dilanjutkan kembali, tapi tidak menggunakan bus nomor 69 lagi. Kelompok saya dijemput oleh pick up milik pak Kepala Desa Kertasari yang kemudian terkenal dengan sebutan Pak Kuwu. Dikarenakan kuota barang-barang yang kami bawa jauh lebih banyak daripada jumlah anggota satu kelompok, maka kami putuskan pemberangkatan dilakukan sebanyak 2 kloter. Kloter pertama adalah kloter barang-barang dan beberapa orang yang mengawasi. Saya termasuk kedalam kloter 2 bersama mayoritas anggota. kami memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu jemputan tiba. Opik, Nemo, dan Cucu pergi belanja sisa barang-barang yang dibutuhkan, sisanya (kalau tidak salah Saya, Asni, Mei, Ryan, Bunga, Ira, Anggra, Ruddy, Henly, Sahat dan Hellen) melanjutkan perjalanan. Setiap warga yang melihat kami berjalan, bertanya arah dan tujuan perjalanan kami. Ketika kami menyebut nama Kertasari, mereka sangat kaget. Dengan ekspresi wajah yang tampak shock, mereka bilang “KERTASARI ?! Masih salapan kilo deui, jang, ka Kertasari mah. Meuni kuatan mapah sajauh kitu!” Untungnya jemputan datang sebelum kami pesimis karena tidak sampai-sampai ke tempat tujuan. Sisa perjalanan yang dilalui membuat kami tertegun. Separah inikah jalan menuju tempat KKNM yang saya dan teman-teman pilih?

Setelah sampai di rumah yang disediakan pak Kuwu, saya mengucap syukur karena masih ada istana di tengah hutan seperti itu; namun dipinggir kanan dan kiri rumah, sangat minim sekali saya menemukan rumah tetangga. Setelah masuk kedalamnya, saya semakin merasa betah dan semakin bersyukur karena rumah tersebut sangat luas dan nyaman, akan tetapi kekecewaan mulai menjalar ketika saya sadari bahwa tidak ada sedikitpun jaringan yang dapat ditangkap oleh ponsel saya. Tidak mengapa. Ada 3 kamar di lantai bawah dan tiga kamar di lantai atas. Kaum perempuan menempati lantai bawah, saya sekamar bersama Henly, Icha, Nadya di sebuah kamar yang didalamnya ada kamar mandi.

Tim konsumsi segera beraksi, Nemo sang koki dari negeri Jiran mulai menunjukkan kebisaannya dalam mengolah makanan. Sebagian masih sibuk membereskan barang-barangnya, sebagian lagi menemani pak Cucu, berbincang, berceloteh sambil makan makanan kecil. Hari itu kami makan dengan menu sarden. Kenyang, dan saatnya membersihkan diri. Kamar mandi hanya 2 buah yang berfungsi, terpaksa kami menggunakan sistem ‘ngantri’, sehingga waktu yang dibutuhkan agar semua anggota bersih dan wangi menjadi lebih lama. Seusai beres-beres barang dan badan, kami bersiap untuk bersilaturahmi ke rumah pak Kuwu. Jarak antara rumah yang kami tempati hingga rumah pak Kuwu cukup jauh. Sepanjang jalan, kami bertemu dengan warga yang sedang bersantai di serambi rumah mereka masing-masing. Sapaan alakadarnya selalu terujar ketika kami bertemu dengan mereka.

Malam pertama di desa Kertasari, kami mengadakan rapat pertama. Didampingi oleh pak Cucu sebagai DPL, Ryan memimpin rapat itu. Kami membahas rencana program yang akan kami lakukan selama satu bulan di desa ini. Di dalam rapat tersebut saya -yang dibebani amanat menjadi bendahara- sedikit mengeluh tentang pengeluaran pertama yang jauh diluar dugaan. Untuk mengantisipasi adanya pengeluaran berlebih lagi, maka saya membuat peraturan kepada tiap divisi, pengeluaran kelompok kami dijatah sebanyak Rp.200.000/harinya. Jika melebihi jatah tersebut, maka pengeluaran hari berikutnya akan dikurangi sesuai dengan kelebihan pengeluaran di hari sebelumnya. Untungnya tidak ada yang protes atas peraturan yang bendahara buat. Selanjutnya dalam rapat pertama itu telah diputuskan bahwa program yang akan dilakukan selama satu bulan kami disana ada empat, yaitu dalam bidang Pendidikan, Pertanian, Kesehatan dan Seni Budaya. Kegiatan dalam tiap bidang ditentukan oleh tiap Penanggungjawab bidang yang akan ditunjuk keesokan harinya.

Menginjak hari kedua (02/07) kami disana, saya bangun lebih awal dari yang lain. Meski malam pertama disana saya tidur cukup nyenyak, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal saya untuk tidak tidur lebih lama. Melihat keadaan kamar mandi yang tak berpenghuni, saya memutuskan untuk mandi dan mencuci pakaian. Keuntungan bangun lebih awal yang saya rasakan diantaranya saya tidak usah lama mengantri dan saya pun bisa berlama-lama di kamar mandi. Pukul 08.00 kami pergi ke balai desa untuk meminta data desa sekalian berbincang-bincang. Dikarenakan pak Kuwu belum datang ke balai desa, Ryan, Cucu dan Nadya pergi ke rumah beliau. Pak Cucu berbincang dengan pak Sekdes didalam, dan kami para anggota berfoto dan becanda diluar. Banyaknya latar belakang daerah yang ada di kelompok kami merupakan sebuah peluang untuk saling belajar culture dan bahasa tiap daerah. Kami yang berada diluar balai desa sedikit-sedikit berbagi ilmu kebahasaan. Mayoritas kelompok KKNM Kertasari 2010 adalah warga Jawa Barat yang bisa berbahasa Sunda, walau ada juga anggota yang bukan berasal dari Jawa Barat dan hanya bisa menggunakan bahasa Sunda yang sedikit kasar. Mungkin yang tidak dapat berbahasa sunda dapat dihitung jari, seperti Hellen yang berasal dari Kepulauan Riau, fasih berbahasa mandarin dan masih memakai bahasa Indonesia baku dengan aksen mandarinnya di dalam percakapan sehari-hari. Nemo dan Asni yang berasal dari negeri Jiran, memiliki aksen bahasa melayu yang khas. Apabila mereka berdua berbincang, kami kurang bisa paham pembicaraan mereka. Timbul rasa penasaran dan timbul pula rasa ingin tahu sehingga kami semua ingin saling belajar bahasa setiap daerah (dan negara). Ada Ciha dan Sahat yang memiliki marga yang termashur di Medan. Sahat sudah lama menetap di Cimahi, sehingga dia masih bisa menggunakan bahasa Sunda walau agak kasar, sedangkan Ciha memiliki kosakata Sunda yang sangat minim, Ciha mengenal Sunda setelah dia menetap di Jatinangor. Otomatis bahasa Sunda yang dipelajarinya terpengaruh oleh kegaulan para mahasiswa Unpad yang berdomisili di Jatinangor juga, alias Sunda Prokem. Ada pula Icha c’bows yang berasal dari Cilegon, C’bows adalah tipe pengguna bahasa Sunda pasif. Dia paham ketika orang-orang berbicara menggunakan bahasa Sunda, namun kurang bisa berbahasa Sunda. Terakhir ada Thorry yang berasal dari Manado, namun tinggal lama di Tangerang. Saya mengetahui sedikit bahwa SD dan SMP di Depok dan Tangerang ada pembelajaran tentang bahasa Sunda. Thorry lebih tampak seperti anak gaul tangerang yang menggunakan ‘gue-elo’ dalam percakapan sehari-hari daripada anak gaul Manado. Walaupun orang-orang yang saya sebutkan diatas kurang mampu berbahasa Sunda, bukan berarti mereka tersisihkan dan memilih menjadi pendiam. Kami semua mencoba untuk berbaur bersama dan saling belajar selama masa KKNM dan mudah-mudahan berlanjut hingga kami tiba kembali di Jatinangor bahkan hingga waktu yang tak terbatas.

Pukul 10.00 kami kembali ke rumah. Setelah beristirahat dan makan, Pak Cucu pamit untuk pergi ke desa Padawaras. Pak Cucu berangkat, Kami mengadakan rapat lanjutan yang terbilang singkat dan tidak terlalu resmi seperti rapat malam kemarin. Rapat singkat tersebut hanya membahas dan menunjuk Penanggungjawab (PJ) tiap bidang yang sudah dibahas semalam. Dari bidang pendidikan, ada tiga calon PJ yang diusulkan. Mereka adalah saya, Taufik dan Badi yang dipilih karena basic kami berasal dari Fakultas Sastra. Para anggota menunjuk saya sebagai PJ, dan Ryan sebagai kordes berkata bahwa pilihannya pun berat ke saya. Agak ambigu sebenarnya perkataan Ryan itu, tapi setelah dipertimbangkan dan dipikirkan secara mendalam, saya bersedia mengemban tanggung jawab lainnya, selain sebagai bendahara yaitu PJ Pendidikan. Disusul oleh Henly yang berasal dari Fakultas Pertanian sebagai PJ Pertanian, Nadya dari Fakultas Kedokteran sebagai PJ Kesehatan, dan Anggra dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang memiliki suara bagus dan pandai bernyanyi sebagai PJ Seni dan Budaya.

Dalam rapat singkat pemilihan PJ, disinggung pula mengenai survey ke empat dusun di Desa Kertasari. Kami dibagi menjadi empat kelompok, pukul 14.00 setelah beres shalat jumat dan beres-beres, kami bersiap berangkat dengan kelompok masing-masing. Saya satu kelompok dengan Nemo, Ira, Ruddy, Sahat, dan Henly melakukan survey di dusun Leuwipicung. Rumah yang kami tempati pada saat itu berada dalam lingkup dusun Leuwipicung, jadi kami tidak ikut naik pick up bersama tiga kelompok lainnya. Awalnya kami pikir ruang lingkup Dusun Leuwipicung hanya daerah tempat tinggal kami hingga ke rumah pak Kuwu, namun ternyata itu hanya 20% bagian dari keseluruhan dusun. Ada lebih dari enam RT di dusun itu, perjalanan ke tiap rumah ketua RT sangat menguras tenaga, ditambah jalanan yang kami lalui cukup terjal. Kami mewawancarai warga berdasarkan bidang yang sudah ditentukan untuk menentukan kegiatan apa saja yang akan kami lakukan nantinya. Karena kelelahan, mood saya benar-benar buruk pada saat itu. Sampai pulang dan rapat evaluasi pun, saya lebih memilih diam dan menjawab seadanya apabila ditanya. Kami beristirahat untuk mengumpulkan kembali tenaga yang sudah banyak terkuras di hari itu.

Hari ketiga (03/07) tidak ada jadwal kunjungan atau kegiatan apapun. Kami memilih untuk mengakrabkan diri dengan rumah yang kami tempati. Seharian kami tidak kemana-mana. Cucu memecahkan kesunyian di dalam rumah dengan permainan ramalan kartunya. Semua anak mencoba ketepatan ramalan Cucu. Disambung oleh ramalan kartu versi Anggra. Tiap anggota ikut berpartisipasi diramal oleh Anggra. Ini hanya permainan, untuk bersenang-senang. Jadi saya tidak begitu mempermasalahkan ketepatan ramalan dari Cucu maupun Anggra. Selain itu, Mei sebagai sekretaris membuat jadwal piket di rumah. Jadi semua anggota bisa kerja semua, tidak dibebankan pada orang-orang tertentu saja. Saya kebagian piket hari Rabu dan Sabtu bersama Ryan, Asep, Thorry, Cucu dan C’bows.

Menjelang petang, Asep sudah bersiap pergi ke Mushola untuk mengajar anak-anak mengaji. Asep adalah anggota yang memiliki inisiatif tinggi. Sejak pertama kita tiba di Kertasari, dia sudah rajin mengunjungi mesjid dan madrasah yang ada disana dan membantu ustad mengajar anak-anak mengaji. Awalnya saya senang dengan inisiatif yang dia miliki, karena kegiatan mengajar di mesjid dan Mushola masuk ke dalam program pendidikan pula. Ada pula sedikit rasa gereget saya terhadap Asep karena dia kurang berkoordinasi dengan saya dan anggota lainnya mengenai kegiatan apa saja yang akan dilakukan, kapan saja kegiatan berlangsung, dimana saja dia melangsungkan kegiatan, dan sebagainya. Asep dengan mudahnya menjawab ‘ya’ ajakan dari ustad-ustad di tiap mesjid untuk mengajarkan mengaji tanpa melihat kapasitas dan kemauan para anggota lainnya. Pada akhirnya saya memutuskan untuk memusatkan kegiatan mengajar mengaji di satu mushola dekat rumah saja. Yang lainnya, biarkan Asep saja yang mengatur sendiri dengan para ustad.

Hari keempat (04/07) rumah kami kedatangan tamu tepatnya pukul 08.10. Tamu-tamu kecil datang bergerombol diiringi tawa riang yang membuat kami semakin gemas melihat mereka semua. Anak-anak sekitar dusun Leuwipicung datang ke rumah untuk belajar sambil bermain. Cukup lama kami berinteraksi dengan anak-anak. Belajar, bernyanyi, berjoged, becanda, games, dan masih banyak lagi kesenangan lainnya di hari itu. Siangnya, atas usulan pak Kuwu, kami pergi ke Pantai Cipatujah. Kami pergi naik Pick up atau kolbak andalan yang dikendarai oleh pak Acon. Menurut pandangan saya –yang juga termasuk anak pantai- pantai Cipatujah kurang begitu menarik, kurang bersih, dan sayangnya lagi berpasir tidak putih. Disana, saya kurang tertarik bermain air atau ikut berfoto. Saya memanfaatkan sinyal yang ada dengan menelpon orangtua dan teman. Di pinggir pantai, kami membeli ikan laut untuk disantap nanti malam. Mumpung pergi keluar desa, kami menyempatkan belanja hadiah untuk acara Rajaban yang diusung oleh Anggra sebagai PJ Seni dan Budaya, juga belanja konsumsi untuk dua hari kedepan. Sebelum pulang, Ira sangat ingin makan bakso, diamini oleh yang lainnya. Saya dan Henly yang duduk di depan bersama pak Acon pun mencari Bakso yang enak di sepanjang perjalanan. Setelah puas jalan-jalan, kami pulang dan mempersiapkan hidangan makan malam spesial, ikan bakar.

Di pagi hari berikutnya (05/05) piket sudah mulai berjalan. Beres makan, kami sudah bersiap untuk melaksanakan lokakarya bersama perangkat desa dan para warga. Cukup banyak warga yang datang ke balai desa pada saat itu. Dalam lokakarya dan sosialisasi tersebut, kami menjelaskan berbagai macam program dan kegiatan yang akan kami lakukan di Desa Kertasari kepada warga, dan meminta ijin, persetujuan serta bantuan para warga untuk keberlangsungan program kami. Di divisi pendidikan sendiri, Tim merencanakan lima kegiatan, diantaranya pendidikan formal (mengajar di SD Leuwipicung), Pendidikan keagamaan (mengajar di madrasah), Pendidikan nonformal (les dan pendidikan Anak Usia Dini), dan pendidikan umum (pembelajaran berbahasa Indonesia bagi para warga). Pak Sekdes menghampiri saya dan mengusulkan agar kami tidak hanya mengajar SD saja. Di Leuwipicung juga ada sebuah SMP yang baru didirikan dan membutuhkan tenaga pengajar. Saya pun menampung usulan pak Sekdes untuk dibicarakan kembali bersama tim pendidikan.
Selesai Lokakarya, kami kembali ke rumah untuk beristirahat, sebagian anggota mematangkan kembali konsep program yang akan dibuat.

Tim pendidikan mulai melaksanakan kegiatan. Sore harinya, diadakan pendidikan terbuka bagi anak-anak SD kelas 4-6 dan ada pula pendidikan umum untuk warga 15 tahun keatas yang ingin belajar bahasa Indonesia lebih dalam di balai desa. Pendidikan terbuka perdana sukses dijalankan, berbanding terbalik dengan pendidikan umum. Tidak ada seorangpun warga yang datang ke balai desa. Tidak mengapa, masih ada besok, hari terakhir untuk pendidikan umum.

Beberapa paragraf di dalam tulisan ini membahas tentang program pendidikan di desa Kertasari, bukan karena saya adalah PJ pendidikan, namun belum muncul saja bidang yang lainnya. Nanti pasti akan saya bahas sedikit-sedikit yang saya tahu tentang bidang Pertanian, Kesehatan serta Seni dan Budaya. Kembali ke Pendidikan, keesokan hari di pagi yang cerah (06/06), mengikuti usulan pak Sekdes ketika lokakarya pada hari Senin, beberapa tim pendidikan pergi untuk melakukan survey ke SMP Satu Atap 5 Cipatujah yang berada di dusun Leuwipicung. Berhubung kami datang ke Desa Kertasari bertepatan dengan liburan sekolah, maka pendidikan formal baru bisa dilaksanakan pada tanggal 12 Juli 2010 ketika para siswa sudah masuk sekolah lagi. Di SMP, kami banyak bertanya kepada satu-satunya staf yang ada di kantor. Lalu kami pun meminta ijin kepada kepala SMP untuk ikut mengajar di sekolah tersebut. Niat kami disambut baik, dengan tangan terbuka, pihak SMP mengabulkan permintaan kami.

Sisa hari itu kami lewatkan dengan melakukan survey ke dusun Sirnagalih. Dusun ini adalah dusun terjauh dibandingkan kedua dusun lainnya selain Leuwipicung. Di Sirnagalih, kami disambut di rumah pak RW yang selanjutnya disebut pak Punduh. Alangkah senangnya anggota yang kebagian piket di hari itu, mereka tidak usah repot masak dan mencuci piring, kami disuguhi berbagai macam makanan ringan dan dilengkapi dengan suguhan makan siang yang sangat spesial. Sebelum makan, sebagian dari kami pergi ke Masjid untuk melakukan sembahyang dzuhur. Pemandangan disekitar masjid sungguh menenangkan hati dan pikiran. Saya sungguh betah lama-lama duduk di masjid sambil melihat sekitar. Pak Punduh sangat senang menerima kedatangan kami, para mahasiswa berpokiran polos, namun dikarenakan pukul 16.00 ada kegiatan pendidikan terbuka, kami berpamitan kepada pak Punduh dan keluarga.

Setibanya di rumah, tim PJ pendidikan umum bersiap menuju balai desa, dan tim PJ Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pun bersiap menyambut anak-anak yang datang ke rumah untuk belajar sambil bermain. Kembali disayangkan, antusiasme para pemuda dan orangtua di dusun Leuwipicung untuk mencari ilmu, kalah mutlah oleh antusiasme bocah-bocah kecil nan menggemaskan. PAUD berjalan lancar, sedangkan tim pendidikan umum pulang dengan raut kekecewaan.

To be continued (Insya Allah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar