Jumat, 25 Juni 2010

Jumat Berkat, Berkat Jumat

Pagi yang sangat berat untuk membuka mata. Pukul 06.27, saya terlambat 27 menit dari jadwal yang sudah ditetapkan dan tentu saja dari jadwal kewajiban saya terhadap agama yang saya yakini. Hari Jumat bercuaca mendung seperti sekarang, saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman saya di Pameungpeuk, salah satu desa di kabupaten Garut. Pameungpeuk merupakan daerah yang jarang orang lain mengetahui keberadaannya. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai disana apabila kita mengambil awal dari daerah Garut kota adalah sekitar tiga jam. Itu pun jika kita menggunakan kendaraan pribadi; Apabila kita memakai kendaraan umum seperti mini bus, maka waktu yang dibutuhkan akan sedikit lebih lama.
Sekarang saya berdomisili di daerah Jatinangor. Dari tempat saya bermukim sekarang menuju daerah Garut kota, itu membutuhkan waktu sekitar satu jam tiga puluh menit. Saya lebih senang menggunakan kendaraan umum apabila saya pulang ke Pameungpeuk, maka apabila diakumulasikan, waktu keseluruhan yang saya habiskan diperjalanan adalah sekitar lima jam.

Setelah sedikit dipaksakan, saya pun beranjak dari tempat empuk yang biasa menjadi tempat bermanja setiap malam. Saya memperhatikan kondisi kaki kiri yang sebagian permukaannya tetutup koyo. Teringat hari kamis ketika saya berkumpul dengan teman-teman KKN daerah Cipatujah desa Kertasari, kondisi saya kurang baik pada saat itu. Kepala yang dari paginya terasa berat dan pusing membuat keseimbangan tubuh saya berkurang yang akhirnya saya terjatuh dihadapan teman-teman KKN serta mengakibatkan kaki kanan sedikit lecet dan kaki kiri terkilir dan benjol. Hasilnya, sekarang saya terpincang-pincang menahan sakit.

Hari ini pun saya memutuskan untuk menggunakan kendaraan umum untuk pulang. Selain melatih kesabaran dan kemandirian, setiap menit perjalanan yang saya lakukan menuju rumah selalu saya nantikan. Tidak sedikit pengalaman baru yang saya dapatkan dari perjalanan tersebut. Saya pun secara tidak langsung dapat mempelajari watak setiap orang baru yang saya temui di perjalanan. Pelajaran baru yang saya dapatkan di kelas tidak dapat seluruhnya saya tangkap, namun, apabila saya mempelajari hal tersebut melalui aplikasi di dunia nyata, saya akan dengan cepat memahaminya. Seperti halnya pelajaran-pelajaran baru yang selalu saya dapatkan di perjalanan pulang menggunakan kendaraan umum.

Setelah merapikan semua barang-barang yang harus dibawa dan yang semestinya dirapikan, saya berjalan sedikit pincang menuju tempat pemberhentian angkot pertama. Tampak seorang mahasiswa berpakaian islami yang berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Dari pakaian yang agak berantakan dan kertas-kertas ditangannya, mungkin dia terlambat mengikuti kuis ataupun ujian yang diselenggarakan di kampusnya. Rasa syukur saya panjatkan karena hari ini saya sudah terbebas dari kuis ataupun ujian, akan tetapi penyesalan berikutnya datang karena pagi tadi saya melewatkan sembahyang subuh.
Angkot pertama mengantarkan saya ke angkot kedua, dan dari angkot kedua, saya melanjutkan perjalanan menggunakan bus. Perjalanan satu jam setengah di dalam bus biasanya saya gunakan untuk tidur. Tidak ada interaksi yang menonjol antara penumpang satu dengan penumpang lainnya, karena itu saya merasa bosan memerhatikan keadaan sekitar. Sedikit berbeda dari pengalaman-pengalaman yang lampau, saya mendapatkan pembelajaran dari sang kondektur yang menarik ongkos dari tiap penumpang. Biasanya, saya membayar tarif bus tersebut seharga 5000-7000 setiap saya pergi ke Garut kota; ketika saya memberikan tarif biasa kepada kondektur yang masih muda dan berbadan kecil, dia memberikan kembalian 2000 kepada saya. Baru saya ketahui kalau perjalanan ke Garut kota bisa dengan 3000 rupiah saja (mungkin kita sebagai penumpang juga harus melihat perawakan dari kondektur. Kalau kondekturnya sudah berpengalaman, mungkin mereka akan meminta tarif lebih).

Di terminal Garut tempat pemberhentian akhir bus, saya turun. Dari sana saya menggunakan angkot ketiga menuju daerah Antares. Saya biasa menunggu bus mini di daerah tersebut. Ketika saya turun dari angkot ketiga, tidak lama kemudian bus mini menuju pameungpeuk (tepatnya jurusan Cimari dan/ Cikelet) tiba menjemput. Tanpa banyak bicara, saya naik dan duduk di bangku belakang supir. Di barisan bangku itu, hanya ada saya yang duduk. Perjalanan yang sebenarnya dimulai.

Jumlah penumpang di dalam bus mini yang saya gunakan terbilang sedikit namun memenuhi kuota untuk mulai berangkat, jadi supir tidak usah repot untuk memutari daerah Merdeka beberapa kali untuk mencari penumpang. Biasanya penumpang akan datang sendiri di sepanjang jalan. Yang menjadi objek pandang saya adalah seorang ibu yang duduk disamping supir. Raut wajahnya menunjukkan bahwa beliau sudah berumur lebih dari setengah abad. Dia sangat ramah dan cepat akrab dengan penumpang lain yang baru naik. Segala hal selalu beliau tanyakan, dan beliau sedikit banyak berbaur apabila dua orang atau lebih sedang melakukan percakapan. Bus mini berhenti di daerah Maktal, seorang ibu dengan tiga orang anak yang masih terbilang balita menaiki bus mini. Mereka duduk sebaris dengan saya. Ibu tersebut tampak kerepotan, anak yang paling kecil (perempuan) digendong di sisi kirinya, anak kedua (perempuan) bergelayut manja di sisi sebelah kanan, sedangkan anak pertamanya (laki-laki) tidak mau kalah dengan adik-adiknya, dia mencari perhatian dengan cara lebih memilih berdiri di depan ibunya daripada duduk disamping beliau. Saya membayangkan jika saya berada di posisi ibu tersebut, saya akan bekerja keras bersama suami saya kelak agar kami dapat memiliki mobil pribadi agar saya dan suami dapat duduk di depan dengan nyamannya, dan anak-anak duduk di bangku belakang. Betapa repotnya seorang ibu mengurus tiga anak kecil di kendaraan umum dengan kapasitas terbatas.

Tidak jauh dari Maktal, tepatnya di daerah Bayongbong, seorang lelaki naik dan duduk di bangku depan bersama ibu berumur di samping supir. Penampilannya terbilang gaul untuk pemuda di desa. Kedua antingnya ditindik, pergelangan kedua tangannya dihiasi oleh gelang-gelang karet berwarna hitam, sepuluh kuku jari tangannya berwarna hitam mengkilap. Padahal dia cukup menarik dan memiliki senyum yang manis walau tidak menggunakan aksesoris apapun. Saya berani menjamin.

Bus mini kami berhenti beberapa waktu di daerah pasar Cikajang untuk memenuhi kuota penumpang. Dari tempat pemberhentian tersebut, ada beberapa orang baru, diantaranya rombongan murid SMKN Cikajang, seorang perempuan yang masih tampak muda, seorang ibu berusia matang menggendong bayi yang masih sangat rentan, serta dua orang kakak (perempuan) adik (lelaki). Memang pada dasarnya saya adalah manusia modern dengan jarak pandang yang sangat terbatas, saya hanya memerhatikan orang-orang yang berada di dekat saya.
Rombongan murid kebanyakan duduk di bangku paling belakang, hanya dua orang duduk di samping saya. Perempuan muda duduk di depan rombongan murid, dan ibu berusia matang dan menggendong bayi rentan duduk di depan perempuan muda/dibelakang bangku saya, sedangkan kakak beradik duduk terpisah; Kakak duduk sejajar dengan perempuan muda, dan adiknya duduk di pinggir dua orang murid disamping saya.

Sebelum berangkat, bayi yang masih sangat rentan itu tiba-tiba menangis kencang. Bagi saya, tangisan dan jeritannya sangat memilukan, membuat saya khawatir akan pita suaranya yang juga rentan. Bayi itu kepanasan, dengan lapisan kain tebal yang menyelimutinya, dengan kondisi tubuh ibunya yang sedikit tambun, dan keadaan bus mini yang pengap. Hingga ibu berusia matang itu memutuskan untuk pindah kedepan bersama pemuda, ibu berusia setengah abad, dan supir. Seperti biasa, ibu berusia setengah abad bertanya akrab kepada ibu yang menggendong anak. Dari percakapan mereka, diketahui bahwa bayi yang dia gendong adalah cucunya, sedangkan anak dari bayi tersebut adalah perempuan muda yang semula duduk dibelakang anaknya. Terbesit pikiran apakah sang ibu kandung merasakan kepiluan yang saya rasakan ketika mendengar bayi itu menangis? Pikiran susulan yang terbesit kenapa bayi itu digendong neneknya sampai neneknya mengeluarkan payudaranya untuk mendiamkan bayi sedangkan ibu kandung hanya diam dibelakang serta tidak berbuat apa-apa?

Kemudian saya tertarik memperhatikan salah satu murid SMKN yang duduk disamping saya. Dia curhat kepada temannya dengan suara yang dapat didengar oleh seluruh penghuni bus mini, ponsel qwerty merk Nex*** di pegang di tangan kiri sambil seringkali layar ponsel tersebut digunakan untuk bercermin. Terdapat empat buah cincin emas di jari-jari tangannya, sebuah jam tangan mencolok berwarna merah muda dan sepuluh kukunya dibubuhi cat kuku dengan warna yang sama. Sepertinya, dia sedang mencari perhatian pemuda yang duduk di bangku depan. Kesimpulan tersebut saya dapat dari pengalaman ketika saya seumur dengan murid itu.

Lain halnya dengan cerita kakak beradik yang duduk terpisah. Baru saya sadari kalau adik laki-laki yang duduk disamping murid SMKN tersebut memiliki keterbelakangan mental. Dia tidak dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, melakukan apapun seenak dia tanpa memperhatikan orang lain, dan pandangan matanya kosong. Sepertinya dia tidak nyaman dengan keadaan sumpek didalam bus mini, seperti halnya ketidaknyamanan murid SMKN akibat keberadaannya. Banyak keluhan yang dilontarkan murid SMKN yang cari perhatian itu kepada saya, dan saya hanya berusaha berkata bahwa dia tidak akan menggigitmu. Adik lelaki itu semakin gelisah, dia semakin tidak nyaman walau sudah berkali-kali berganti posisi. Dia duduk dibawah beberapa saat, batuk-batuk, sekali-kali kepalanya bersandar pada paha murid SMKN, dan dia pun muntah. Ibu tiga anak seketika berteriak dan mengeluh karena muntahan adik lelaki itu mengenai kakinya. Kakaknya dibelakang mulai khawatir, dia memberikan kantong plastik dan air sambil terus menanyakan keadaan adiknya. Salah satu murid SMKN akhirnya turun, dan satunya lagi yang cari perhatian pindah ke bangku belakang. Tersisa saya, ibu tiga anak dan adik lelaki itu. Dengan baik hati ibu setengah abad di depan membawa anak kedua untuk duduk dipangkuannya, sehingga sang ibu tidak terlalu repot. Beberapa saat, adik lelaki terlihat tenang tertidur disamping saya, sedikit mengigau. Kakaknya selalu mengajaknya berkomunikasi, dan dengan intonasi yang kurang jelas, adik lelaki berkata bahwa dia ingin makan. Sungguh kakak yang sabar dan perhatian, dia terus mengajak adiknya berkomunikasi meski pandangan semua orang tampak sinis, terutama ibu tiga anak. Keadaan mulai berubah. Tindak-tanduk adik lelaki tampak gelisah kembali, sekarang dengan batuk yang lebih keras dan membuat orang-orang mual, dia pun kembali duduk di bawah, sekarang bersandar pada paha saya. Tidak lama, beberapa kali dia muntah. Walaupun dia memegang kantong plastik, dia tetap muntah tanpa menggunakannya sebagai wadah. Alhasil, bajunya dipenuhi muntah. Beruntung kami tiba di pemberhentian untuk makan siang. Setelah adik lelaki turun dengan muntah berceceran dimana-mana, saya akhirnya melihat kakaknya dengan jelas. Dia telaten membersihkan muntahan adiknya, sabar, perhatian, dan tampak sangat sangang kepada adiknya. Badan kakaknya sedikit tambun, cantik, kemayu, dan tampak keibuan. Kondektur membereskan muntahan di dalam bus mini. Dan saya memutuskan tidak keluar untuk makan dan tidak berpindah dari tempat duduk saya semula. Ibu tiga anak pindah ke belakang seiring dengan turunnya ibu, anak dan cucu yang rumahnya tidak jauh dari tempat pemberhentian bus mini.
Setelah 20 menit, kami bersiap berangkat. Kendala berikutnya pun kembali datang. Kopling bus mini tiba-tiba mengeras dan tidak bisa di otak-atik. Kami pun menunggu. Rombongan SMKN di bagian belakang memutuskan untuk turun dan menaiki bus mini lain daripada harus menunggu.
Ibu berusia setengah abad memecahkan kesunyian diantara penumpang ynag tersisa. Beliau menanyakan keperluan ibu ynag pergi ke Garut kota bersama ketiga anaknya. Ibu tiga anak itu berkata bahwa tadinya dia tidak ingin mengajak ketiga anaknya ikut serta. Dia hanya ingin pergi bersama anak bungsunya. Namun suaminya terbebani apabila kedua anaknya ditinggal dan takut terganggu apabila sang suami sibuk membenarkan mobilnya. Dari pernyataan yang diucapkan suami ibu tiga anak, saya kembali membayangkan dan berdoa supaya suami saya kelak tidak akan memprioritaskan mobil kami, dan lebih memilih bermain bersama anak-anak.
Saya hanya mendengarkan celotehan anak-anak dan cerita dari ibunya sambil melihat kakak dan adik ynag memutuskan untuk meneruskan perjalanan dengan naik ojeg, padahal sisa jarak ynag harus ditempuh masih sangat jauh. Otomatis harga biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih mahal. Betapa tegarnya kakak itu. Tidak ada raut kesal diwajahnya melihat apa yang telah dilakukan sang adik.

Sungguh perjalanan yang luar biasa. Hari jumat yang penuh berkat, berkat jumat, saya bisa melihat ketegaran kakak menghadapi adiknya yang kekurangan sehingga saya berpikir dua kali untuk berselisih dengan adik-adik saya di rumah; bisa mendapatkan pelajaran mengenai komunikasi massa dari ibu berusia setengah abad; bisa berpikir cara untuk memilih calon suami yang bertanggungjawab dan sayang keluarga, apa adanya tanpa berpenampilan berlebihan; bisa mengendalikan diri untuk tidak berbuat dan berpenampilan diluar kewajaran; bisa berusaha untuk menjaga buah hati tanpa merepotkan orang lain disekitar saya; [mudah-mudahan] bisa lebih sabar, mandiri, percaya diri, dan memiliki kebisaan lainnya.

Sabtu, 05 Juni 2010

Dogystyle, Sodomi, dan/ Menusuk dari Belakang

Sudah lama sekali saya tidak menuangkan pikiran di blog ini. Padahal sangat sulit untuk memulai kembali suatu rutinitas yang sudah lama ditinggalkan. Dan untuk awal tulisan ini, saya ingin berbagi mengenai ‘pengalaman’ saya tentang judul diatas.

Kenapa saya berikan tanda kutip untuk kata pengalaman? Tentu saja jawabannya adalah saya ingin memberikan kesan ambigu terhadap kata tersebut. Kalau saja saya menulis kata tersebut tanpa tanda petik, otomatis pembaca tulisan ini akan berpikir kalau saya berpengalaman akan gaya bercinta dogysytle ataupun pengalaman disodomi maupun ditusuk dari belakang. Maaf membuat kalian kecewa, namun itu bukan maksud dari judul yang saya berikan kepada tulisan ini.

Jujur sejujur-jujurnya, saya sangat tidak suka dengan semua perbuatan menyimpang tersebut.

Saya mendapatkan inspirasi menulis mengenai DSM (Dogystyle, Sodomi, Menusuk dari belakang) setelah saya menonton film Serigala Terakhir sendirian pada waktu tengah malam. Dan sekarang sudah pukul 2 dini hari. Dalam film itu, saya melihat tokoh Djarot yang dipecudangi oleh seorang penguasa para napi. Dari sana, otak saya langsung membuka files mengenai hal serupa ketika saya masih bau kencur.

Awal mula saya mengenal istilah sodomi adalah ketika waktu SD dulu, saya menonton film Jacklyn. Pada waktu itu, tidak ada tulisan ‘bimbingan orangtua’ di layat TV. Oleh karena itu saya nonton sendirian, dan sialnya, scene yang saya tonton seharusnya tidak saya tonton pada waktu saya masih belum bisa berpikir layaknya orang dewasa yang sudah menganggap hal tersebut biasa. Anak kecil ceria teman Jacklyn yang diculik oleh pak tua gendut bermuka sangar pada waktu itu dikurung disebuah gudang. Pada awalnya saya melihat sedikit kebaikan dari pak tua gendut bermuka sangar karena biadab itu memberikan makan kepada anak kecil ceria teman Jacklyn. Ketika suasana diceritakan sudah malam hari, pak tua gendut bermuka sangar menyunggingkan seringai yang aslinya sangat menyeramkan. Biadab itu hanya berdua dengan sang anak kecil ceria teman Jacklyn, dan pintu pun ditutup.

Ketika Jacklyn sebagai sosok pahlawan kesiangan tiba, sikap anak kecil ceria tersebut menjadi berubah. Dia lemah, ketakutan dan tampak shock. Setelah beberapa menit, dia pun meninggal dipangkuan Jacklyn. Saya pun menangis dan mungkin sedikit trauma juga. Awalnya saya bertanya-tanya, apa yang mereka (pak tua gendut bermuka sangar dengan anak eks-ceria eks-temannya Jacklyn) lakukan di dalam ruangan tersebut. Seiring berlalunya waktu, saya pun mendapatkan jawaban dari kakak sepupu saya. Dan mulailah trauma tersebut menjalar. Saya tidak ingin mendengar, melihat ataupun merasakan adegan itu. Hehe. Maka, percaya atau tidak, saya belum pernah menonton film atau video porno sampai saat ini. Saya masih berani membaca artikel atau cerita seputar seks, tapi BIG NO bagi saya untuk menontonnya.

Pernah suatu waktu ketika saya berdomisili di kostan daerah Nusa Indah-Garut, semua teman-teman kostan sedang berkumpul di teras kamar. Ternyata mereka sedang menonton video porno di telepon seluler milik the C*Ci. Lebih sial lagi, ketika saya melihat sekilas, yang saya lihat adalah adegan sodomi. saya melihat si aktor berkali-kali memasukkan senjatanya di anus aktris. Aktris merasa kesakitan dan mungkin ada enaknya juga (sumpah, saya sekaang merasa sangat mual).

Inhale exhale. Oke, kita lanjutkan. Selain itu, akhir-akhir ini saya sering melihat berita kriminal atau semacam investigasi seperti halnya kasus seorang bandot tua yang menyodomi belasan anak jalanan. Otomatis cerita tersebut langsung membuat saya suudzon terhadap anak-anak dan bapak-bapak yang saya temui di jalan. Semakin saya ingin menghilangkan rasa trauma ini, semakin banyak files mengenai hal tersebut yang saya terima. Dunia di luar sana amatlah kejam, saya mungkin tidak sanggup melihat kekejaman itu langsung. Makanya Allah menempatkan saya di daerah yang cukup damai. Saya senang menjadi anak rumahan, saya masih belum berani menerima kenyataan tentang kekejaman dunia.

Walaupun ini sedikit mustahil, tapi saya berdoa dan selalu memohon agar orang-orang di dunia ini kehilangan seluruh jiwa tamak, jahat dan dendam. Seperti kata pak Haji di Kiamat Sudah Dekat dan bapak saya sendiri pun bilang begini, “kunci kedamaian hanyalah Ikhlas.” Semakin orang tidak ikhlas, semakin dia tidak menerima kenyataan. Semakin dia tidak bisa menerima kenyataan, semakin dia merasa tidak puas. Semakin dia tidak puas, semakin dia ingin mencari. Semakin banyak informasi yang di dapat, akan semakin banyak pula penyimpangan yang dia lakukan.