Selasa, 21 Juli 2009

I have lost my cellphone left

Dari hari Minggu (19/7), saya berada di Garut karena ada beberapa acara yang harus saya datangi. oleh karena itu, saya tinggal di rumah saudara untuk beberapa waktu.
Singkat cerita, sore hari, kami (saya, teh eka, de dewi) pergi berwisata kuliner sambil melihat acara helar Garut yang diadakan di alun2 Garut. Malamnya, saya tidur dengan keadaan yang sangaaaaaat kenyang.

Pada hari senin (20/7) pukul 10.00 WIB, saya pergi ke rumah Rahmatyar (iyay) bersama dengan teh eka. disana, anak2 FOS mengadakan acara kumpul bersama setelah sekian lama tidak bersua. Acara dimulai pada pukul 11.40 (tidak sesuai jadwal di Jarkom yaitu pukul 10.30). FOS yang hadir hanya berjumlah 14 orang. Ada Adhitia, Rahmatyar, Wina S Setiana, Adul, Gravito, Dinar, Budpi, Widi Sri, Ufhiet, Kristin, yuli, Teh Novi, rheza dan tentu saja saya sendiri. Tukar Kado merupakan acara pertama yang kami laksanakan. saya mendapat kado dari Adul berupa buku motivasi yang sangat bagus (makasih, adulasso ;) ). acara-acara selanjutnya pun terus berjalan dengan lancar. Shalat berjamaah, Makan, Nonton, wawancara* dan bakar jagung. That was awesome.

Selanjutnya, saya dan Wina berpamitan pulang kepada semua. kami berencana untuk pulang ke perantauan masing-masing. Wina ke ITB dan saya ke Unpad. Selama perjalanan, kami saling berbagi cerita mengenai kampus masing2. Terkadang tertidur sejenak, buka HP, ngobrol lagi, melamun.

Ketika itu, saya mendapat SMS dari seorang teman kampus; baca, balas, dan HP nya saya simpan lagi.

Sudah hampir sampai di tempat tujuan, saya pun berpamitan pada wina dan pindah ke belakang dan bersiap-siap untuk turun. selama 10 menit, saya berdiri di ambang pintu bis bersama dengan para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Saya perhatikan sejenak sekeliling, ternyata kebanyakan yang berdiri adalah kaum adam. saya terjepit diantara mereka. Huuuuumfthhhhhhh.


Ok, akhirnya saya turun juga di daerah Rancaekek. Yang pertama saya lakukan adalah menjamah tas kecil, mencari ponsel untuk menghubungi mamah. Then, I didn't found my cellphone inside. PANIC MODE : ON. Saya berusaha meraba-raba ke semua bagian tas kecil dan tas besar, dan hasilnya nihil. Saya berusaha menenangkan diri dan memutuskan untuk pulang ke kostan. Poor me, saya kehabisan angkot!
Masih berusaha tenang, saya pun naik Ojeg dan berangkat ke daerah sayang. Di pinggir jalan, saya temukan wartel. Nomor pertama yang saya pijit adalah nomor telepon rumah. berkali-kali di coba, tidak ada jawaban. Kemudian, saya telepon rumah om chino dan meminta nomor ponsel mamah atau iyang. Di saat panik, saya diharuskan untuk mengingat nomor2 ponsel yang cukup rumit (pada saat itu).
Tangisan saya pun meledak ketika mendengar suara iyang di telepon. Oh god, cengeng sekali.
saya menitip pesan pada iyang untuk disampaikan ke mamah agar mamah segera menelepon ke kostan. saya juga menyuruh iyang untuk mencoba menghubungi ponsel saya. Siapa tahu orang yang membawa ponsel saya bersedia mengembalikan ponsel itu dengan imbalan yang tidak sedikit. Beberapa saat kemudian, Iyang bilang, 'teh, anu ngangkat hp teteh teh pameget. logat na mah logat jawa. teras langsung di tutup deui ku manehanana." FINE! I have known who he is. Dia adalah bapak2 yang berdiri ketika saya duduk, dan duduk ketika saya berdiri di dalam bis.

Alhasil, saya sedikit diberikan nasihat agar tidak terlalu teledor. dan mamah akan memberikan HP pengganti pada hari Sabtu ini (Insya Allah). Untuk sementara, saya pakai nomor esia (022-91536195). dan nomor IM3 yang kemarin akan saya gunakan lagi kalau sudah ada ponsel pengganti.

P.S : ketika sampai di kostan, sudah tidak ada siapa2. Dan saya merasa sangat merindukan rumah.
Pals, kesepian dalam jiwa yang gundah benar2 menyakitkan. ASLI!

Warisan Ibunda

Teh Wid! geulis manis anak mamah,
mamah mere pepeling ka salira supaya jadi anak anu bahagia dunia akherat. Dua perkara anu ku salira kedah di emut unggal waktu:

1. Hirup kudu pake aturan

a. Agama, salira agama islam, turunan islam, janten kedah berlandaskan (berpedoman) Al-Quran.
b. Dari Gama, hartosna pemerintah. janten salira tumut patuh kana aturan pemerintah.

2. Hirup kudu pake ukuran

Ukuran hartosna kamampuan. ngalaksanakeun padamelan. Conto:
a. Mun kakuatan ngakod urang mung 20 kg, ulah ngakod beban 50 kg, bakal mopo.
b. Mun pemasukkan urang sasasih mung 600.000, ulah jajan 800.000 sasasih. urang bakal gede hutang.

Teh Wid! geulis manis, pek jalankeun pepeling ti mamah. teh widi moal pendak jeung cobian anu akbar, malah bakal janten jalmi anu dikenal. jalmi anu bahagia dunia akherat. amiiiiiin.

N.B.: Teh Wid! mamah nyaah ka salira. pek geura lenjepkeun eta pepeling.
Hirup jeung kahirupan ulah lepas tina aturan jeung ukuran.
Teh Wid! mamah bangga ka salira margi dugi ka ayeuna salira kalebet jalmi anu soleh anu di dambakeun ku indung bapa jeung keluarga.
Ted wid sing tiasa ngajagana meh pendak jeung sawarga dunia katut sawarga akherat. Amiiiiiiiiin.



Mamah

Docile, Sang Koki Bisu (Karya kedua Widinupus)

Gadis itu tinggal di pelosok terdalam kota,
Sebagai seorang piatu kesepian ditinggal ibunda,
Docile nama panggilan sayangnya,
Perawakan mungil, ikal dengan dua delikan mata sempurna;
Tinggal di sebuah rumah dalam naungan keresahan,
Ayahnya seorang yang mabuk-mabukan,
Tegur sapa hanya sekedar ungkapan kehadiran,
Hari-harinya berlalu ditemani kesunyian,
Melihat, mendengar, tak bisa mengucapkan;
Paginya berkawan mentari,
Sendiri berjalan menuju tempat kesukaan,
Di hamparan taman hutan dia selalu berlari,
Menemui berbagai macam tanaman berbau unik dan wangi;
Tidak biasa, docile berjalan ke arah yang salah,
Melewati beberapa tempat yang belum pernah dilewati,
Sebuah pondok kecil mengeluarkan semacam aroma,
Gadis itu pun terpikat untuk datang menghampiri;
Perut yang belum terisi membuatnya semakin berani,
Mengintip kedalam pondok berpenghuni,
Sosok tambun, renta dan beruban menarik perhatian docile,
Nenek tua itu melakukan kegiatan yang nampak mengasyikkan,
Mengupas, memotong, mencampur serta menabur,
Memerhatikan kepulan asap wangi dari kuali,
Tak sadar akan kehadiran sesosok lelaki,
Dia menangkap docile layaknya seorang petugas yang meringkus pencuri,
Berperawakan gagah, tegap adalah dirinya,
Lelaki seumuran yang keheranan,
Tak mendapat jawaban apapun dari sang korban,
Nenek tua keluar pondok, merasa iba pada gadis manis itu;
Di dapur pondok, Docile duduk menunduk,
Lelaki seumuran pencari kayu, memperbaiki lemari bumbu yang lapuk,
Sajian beraroma sedap dihidangkan dihadapan Docile,
Nenek tua semakin iba, Gadis itu tak dapat berbicara,
Lelaki seumuran pun sama merasa iba,
Ketiganya menyantap hidangan hangat
dibumbui lelucon segar lelaki seumuran,
Keluarga baru untuk gadis bisu;
Hari-harinya perlahan berubah,
Variasi pelajaran sering dia terima dari taman-teman barunya,
Memetik, memancing, dan perlahan membuat isyarat pengganti kata,
Pelajaran memasak dari nenek sangat dia suka,
Isyarat Docile menceritakan kesusahannya di rumah,
Makan dengan makanan sisa yang di bawa ayah sepulang kerja,
Dingin, basi, hambar, terasa di mulutnya,
Sekali ‘makan besar’, berkali-kali kelaparan;
Docile gadis yang pandai memasak,
Meracik semua bahan dengan terampil,
Ayahnya segera mengetahui, mulai menjadi tamak,
Menjual berbagai racikan komposisi,
Memperkenalkan Docile sebagai koki ahli,
Hanya demi mendapatkan sebotol arak;
Lelaki seumuran berkeluh kesah disamping kuburan nenek tua,
Merindukan dan mulai mencintai gadis bisu itu,
Berharap mendengar suara langkah sepatu kayu,
Melamun dengan wajah tertegun lesu;
Docile berlari tak terkendali menuju pondok,
Tergopoh-gopoh seperti menghindari rampok,
Bertemu lelaki seumuran, hendak bertabrakan,
Gadis itu menangis tak tertahankan,
Tindak pemerkosaan oleh sang ayah, perlahan ia ceritakan;
Kekejaman, kebutaan hati, ketamakan, disebabkan oleh minuman,
Nafsu tidak terkendali, naluri tidak dapat dihindari,
Melahap segala yang tersedia di sekitarnya,
Docile, gadis bisu, sendiri kesepian, hanya pasrah menjadi korban,
Sesuai nama Docile, diam dan mudah dikendalikan,
Ayahnya memanfaatkan setiap kesempatan;
Tak kuasa menahan penderitaan dari ayah tak berotak,
Gadis bisu mulai berusaha berontak,
Dengan pisau sayur-mayurnya, Docile menerkam sang ayah,
Mencacah tanpa ampun daging segar berlumuran darah,
Mengolahnya menjadi masakan bercita rasa daging manusia,
Menjualnya murah kepada pelanggan setia;
Bangkai tidak dapat disembunyikan selamanya,
Lama kelamaan, bau busuk akan tercium juga,
Docile melarikan diri dari amukan massa,
Langkah kaki menuntunnya menuju pondok
Kediaman lelaki seumuran dan nenek tua;
Lelaki seumuran mengajaknya menuju tempat baru,
Membangun kehidupan tenang, jauh dari masa lalu,
Melupakan semua kenangan pahit dahulu;
Docile sangat menikmati kebersamaan bersama lelaki seumuran,
Membuka sebuah usaha tempat makan,
Menciptakan berbagai kreasi masakan;
Gadis bisu itu tak kunjung mendapatkan momongan,
Meski sudah sepuluh tahun usia pernikahan,
Kekecewaannya semakin bertambah oleh perselingkuhan,
Lelaki seumuran didapatinya sedang bermesraan
Bersama seorang pegawai tempat makan milik gadis bisu,
Kenangan pahit masa lalu mulai menaungi pikiran,
Docile mengambil pisau sayur-mayurnya dan sekuat tenaga menyerang,
Menerkam dua sosok makhluk tak berperasaan,
Cicangan daging yang sudah lama tak pernah Docile olah,
Tidak tertinggal pula segarnya kucuran darah,
Memadupadankan bumbu sesuai cita rasa,
Kemudian menjualnya murah kepada pelanggan setia;
Docile, sang koki bisu, tersenyum,
Memperhatikan mereka melahap daging manusia,
Kepuasan tak terperi dalam hati,
Menertawakan nasib yang sekarang dia caci;
Sirna segala harapan,
Musnah semua mimpi dan kebahagiaan,
Docile, sang koki bisu, tak bernyawa,
Tertancap pisau sayur-mayur di dadanya.

Ruang Tak Bertuhan (karya pertama widinupus)

Dalam satu ruangan luas yang tampak begitu lenggang dan tampak ramai ( sepi, sebetulnya ) oleh suara bising rintihan dan jeritan hati tiga orang insan manusia yang terlihat ( tidak, sebenarnya) dalam kusutnya raut muka mereka ( Iyakah?). Lakon pertama tampak begitu tak karuan. Terkadang menangis sedu-sedan, terkadang tak ayal melepas tawa yang menggelegar. Lakon kedua tampak sangat kontras dari lakon sebelumnya. Dia hanya berjalan. Terkadang berjalan bolak-balik, terkadang berjalan berputar-putar, sambil tak henti-hentinya berkata dengan suara parau, seperti hendak menangis. Lakon terakhir hanya duduk diam dengan bola mata yang terus-terusan mengamati kedua lakon lain. Menatap, sekali-kali menunduk, dan menatap mereka lagi. Begitu seterusnya.

Para lakon :

Lakon satu : Seorang perempuan mungil bernama Aldesta Pincrown.

Lakon dua : Seorang laki-laki paruh baya bernama Hendry Gottamna.

Lakon tiga : Seorang laki laki muda yang bernama Larendra Izaky.

Adegan Tunggal

Semua orang tampak sibuk dengan sesuatu yang mereka imajinasikan masing-masing. Tidak ada yang memerhatikan keadaan sekitarnya yang begitu lenggang dan dipenuhi debu jalanan yang dihasilkan oleh tingkah laku Hendry.

Hendry : Semua sia-sia, tak ada hasilnya. Semua hanya sampah yang tak berguna yang harusnya sudah kubuang jauh-jauh. Korek api! Ya, korek Api! Aku harus membakar semuanya. Aku harus musnahkan sampah itu. Sampah busuk! Kenapa tidak dari dulu. Sebongkah sampah bodoh tak berotak.

Aldesta : Sampah itu indah. Pintar-pintar kau saja bagaimana memeliharanya. Seperti serpihan kaca yang berkilauan, aku mengganggapnya sebagai berlian yang mewah. Haha(tertawa lepas). Au..! Tapi berlian itu membuatku sakit. Jariku tergores olehnya. Perih. (Mulai terisak). Dasar sampah tak berguna! Apakah kau tahu, seharusnya kau berterima kasih padaku, bodoh! Aku sudah memuja dan menyamakanmu dengan berlian. Kau tahu berapa harga berlian itu? Lima puluh juta! Lebih barangkali. Kau bisa hidup enak hanya karena sebutir berlian. Tapi kau malah menjualnya dengan harga yang sangat jauh lebih murah. Berapa? Seratus perak? Hah... Sesen pun akan kau jual dengan mudahnya. (Tersenyum sinis). Kau mungkin benar orang tua. Sampah itu tak berotak.

Hendry : Kau tahu, sayang? Aku sudah muak sebenarnya. Dari dulu, ya. Kebodohan yang sangat nista kalau aku tak segera sadar, betapa kau lebih buruk dari yang mereka sangka. Mereka mungkin tidak tahu dan tidak akan pernah tahu seberapa seringnya kau tidur dengan dengkuran yang sangat menggangguku. Tapi itu tidak mengapa bagiku. Aku terima. Tunggu dulu.. Kenapa sekarang aku justru merindukan dengkuran itu?

Aldesta : Sayang? (tertawa). Sayang? Seberapa sering kau mengatakan hal itu padaku? Aku muak! Kau tahu? Aku benar-benar muak!

Hendry : Tumpahkan saja! Kau selalu menumpahkan makanan yang harusnya kau sajikan untukku. Mana sopan santunmu? Lemah lembutlah sedikit. Tapi aku tak akan sekali pun memarahimu. Kau tahu hal itu. Bahkan mungkin aku akan terus membiarkanmu menumpahkan makananku. Aku sangat-sangat merindukan hal itu.

Aldesta : Aku terhanyut dalam samudra yang ternyata berair busuk. Kenapa aku baru menyadari semuanya? Kenapa aku baru mencium bau tersebut? Kau kemanakan semua inderaku? Di jual pula? Dengan harga berapa? Atau kau mungkin memberikan semua milikku dengan Cuma-Cuma? Persetan kau! Memang siapa dirimu? Berkacalah sekali-kali. Aku kasihan sekali padamu. Kaca saja kau tidak punya. Baiklah, aku akan membelikannya di toko samping rumahku. Kebetulan disana sedang obral besar. Bukankah kau suka dengan obral? Obral janji, obral rayuan, obral cinta, apa lagi? Obral kemaluan pula, hah?!! (Tertawa sinis)

Larendra tengah asyik memerhatikan kedua orang itu. Hingga beberapa waktu, dia menunduk dan mulai memainkan tanah merah yang sedari tadi terus menemaninya, duduk membisu. Setelahnya, dia bangkit dan terjatuh lagi.

Larendra : TUHAAAAN!!! (tertunduk)

Aldesta : Tuhan? Dimana dia? Apa wujudnya? Apakah dia bersedia membeli barang obral? Mungkin dia bisa memungut sebongkah sampah busuk untuk dijadikan pupuk di taman-Nya. Atau mungkin dia mau membeli pacahan kaca yang dapat dijadikan pernak-pernik bagi kekasih-Nya. Hey anak muda, aku akan memberikanmu satu rahasia. (Sambil berbisik kepada Larendra). Sebenarnya, serpihan itu adalah berlian. (Tertawa)

Hendry : Sejenak berhenti berjalan dan menghampiri Larendra. Tuhan? Tahu apa kau tentang dia? Kau mau tahu? Dia itu musuh besarku! (Mulai berjalan bolak-balik lagi sambil kalut)

Aldesta : Halah! Kau jangan jadikan tuhan sebagai penutup dosamu yang teramat besar. Tuhan itu tidak tahu apa-apa. Buktinya, dia diam saja melihatmu memecahkan kacaku, hmm..Berlian mungkin. Kebohongan besar kalau dia berada di pihakmu.. (Tersenyum) Tunggu sebentar, apakah tuhan ingin menghancurkan kacaku juga, sama sepertimu?

Larendra : Jangan sekali-kali merendahkannya. Mungkin, dia yang paling setia menunggumu. Setia memperbaiki kacamu yang pecah. Menunggu kau untuk berbaikkan dengan-Nya. Apa yang tuhan perbuat terhadap kalian? Hingga kalian mencercanya dengan sangat kejam? Apa yang kalian perbuat terhadap tuhan? Itu sangat tidak adil!(Menunduk lagi)

Aldesta : Adil? Adil? Kau berbicara keadilan? Aku berada di jeruji pengap yang telah dia buat. Aku bersabar. Hakku terus-terusan di rampas olehnya. Aku bersabar. Aku melayaninya dengan sabar, meski dia tak ayal berbuat kasar. Oh, berlianku...Apakah itu yang namanya keadilan? (Terisak, diam terpaku)

Hendry : Makan saja keadilan itu! Siapa tahu bisa mengganjal perutmu yang sedang bernyanyi meminta makan. Tak ada lagi makanan yang dia sediakan untukku. Sungguh tega. Aku tidak tahu, dimana letak keadilan yang aku terima. Aku sangat mencintainya. Sangat mencintainya, sangat mencintainya. (Terjatuh perlahan)

Perlahan Larendra mengangkat wajahnya. Berdiri, jatuh lagi, dan menggigil.

Larendra : IBUUU!!!

Fade Out.