Jumat, 09 Januari 2015

You and I

Pada akhirnya saya menemukan dia. Dia yang sebenarnya selau ada di sekitar lingkungan tempat tinggal saya. Dia yang setiap harinya selalu saya lihat sebagai pria biasa yang sama-sama bekerja meneruskan usaha keluarga. Dia yang pada awalnya saya pikir mustahil untuk bisa bersama. Setiap cerita pasti memiliki permulaan. Mulanya kami tidak saling bertegur sapa, mulanya kami hanya bicara seperlunya. Hingga pada waktu yang telah tuhan tetapkan, dia mulai berani untuk memulai sebuah percakapan tidak biasa. Percakapan yang seterusnya mengarah kepada ajakan sebuah hubungan. Sampai akhirnya saya meng-iya-kan. Semua mengalir natural. Saya akhirnya bisa menjadi diri saya sendiri ketika bersama dia. Setiap waktu yang kami lalui serasa direstui oleh yang kuasa, pembicaraan kami seakan tidak ada yang sia-sia. Obrolan yang dianggap terlalu berat untuk pasangan baru yang saling mengenal, sudah biasa kami utarakan di setiap pertemuan yang kami lakukan. Keputusan-keputusan penting yang semestinya dibicarakan oleh pasangan yang sudah lama saling mengenal, telah kami bicarakan dan kami sepakati. Dia bertanya untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, dan secara spontan saya memilih bulan lahirnya untuk acara kami, Juli. Bulan yang sangat pas apabila kami kaitkan dengan tanggal-tanggal penting antara kami berdua. Maka ditetapkanlah ** Juli 2015 sebagai tanggal acara pelepasan masa lajang Widi Zakiyatin Nupus dan Heru Hernawan. Semoga tuhan selalu merestui dan menyertai setiap langkah yang kami ambil. I love you abadan, caroge ku sayang. Pals, just say amiin. Thank you. hehe

Hi, Buddy. Hai Badi

Menulis kembali setelah sekian lama ‘tidur’ merupakan suatu tantangan besar. Rasa super malas, bahkan untuk membuka MS.Office, yang menyelimuti seluruh jiwa raga sanubari hati nurani dan sebagainya adalah tantangan pertama yang harus disingkirkan. Pengalaman menulis kembali ini sama halnya ketika saya mencoba menulis lembar pertama skripsi. Disamping materi yang tidak mudah, mengumpulkan niat menulis kata pertama dalam kertas kosong dalam layar itu susahya minta ampun. Satu jam pertama saya hanya bisa menatap nanar ke arah layar dan terus bertanya ‘oh God, what to do, what to do?!’ Satu jam selanjutnya saya mengalihkan pikiran dengan bersosialisasi dengan teman-teman senasib lewat Twitter (kami tidak berani melalui facebook karena kami berteman dengan hampir semua dosen yang menjadi bahan obrolan kami saat itu). Setelah puas bergosip, saya pun tertidur dengan meninggalkan kertas putih MS.Word. Pilihan kata pertama dalam menulis sangat menentukan kelancaran serta bagus atau tidaknya tulisan yang kita buat. Terkadang dan juga seringnya saya hanya stuck di tiga kata pertama dan/ satu kalimat pertama and then I didn’t know what to do again. Hehehe Untuk tulisan pertama setelah ‘tidur’ lama, saya berniat untuk membayar hutang kepada salah satu teman baik saya yang belum sempat kenal lama namun sudah harus terpisah jarak yang sangat jauh dikarenakan kepentingan masing-masing. Walaupun tidak terlalu sering bertemu, namun kami beserta 18 orang lainnya, untungnya, memiliki quality time yang tidak terlupakan selama sebulan di desa Kertasari. Jadi setidaknya masing-masing dari kami sedikit mengetahui bagaimana karakter baik dan buruk tiap individu selama berkegiatan di desa tersebut. Pals, meet my friend, Pengkuh Pribadi, also known as Badi. Benar, saya akan sedikit becerita tentangnya.  Seorang Badi yang saya kenal adalah sosok pria maskulin yang dari segi fisik tampak tegas, memiliki karisma dan faktor x yang membuat perempuan tertarik untuk mengenal lebih dekat pria bernama Badi ini. Pada awalnya saya pikir Badi tipe orang serius dan susah diajak becanda, namun semuanya keliru. Dia easy going, enak juga diajak ngobrol dan tidak pilih-pilih teman. Maka itu kami langsung akrab dan bisa berbicara tentang banyak hal dengan santai. Pernah ada satu kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan tentang Badi. Pada suatu hari setelah kami melaksanakan program kerja di rumah pak Sekdes Kertasari, ketika kelompok kami hendak pulang, hujan turun dengan cukup deras. Tanpa pikir panjang, kami pulang dengan pelindung hujan seadanya, ada yang menggunakan jaket, ada juga yang bawa payung yang dipaksa untuk memuat banyak jiwa. Saya memilih untuk basah-basahan saja karena sudah terlanjur basah. Hahaha Nah, pada saat itu Badi jalan disamping saya, lalu tanpa saya sadari, dia belok dan mampir ke warung. Saya pikir mungkin Badi mau beli makanan kecil buat cemilan dia di rumah. Tapi tak berapa lama, dia berlari kea rah saya dan menutupi kepala saya dengan kantong kresek yang dia bawa dari warung. Saya lupa persisnya dia bilang apa waktu dia nutupin kepala saya pake kresek itu, tapi yang jelas, saya tersentuh. Kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Setelah KKN usai, saya pun kembali melihat sifat peduli antar teman dari sosok Badi. Ada beberapa teman saya yang dengan jelas menunjukkan sifat ogah untuk mengajak saya pergi bersama naik motornya (sudah jelas alasannya, jadi tidak perlu dipaparkan), tapi Badi dengan tangan terbuka langsung menawarkan diri untuk membawa saya menggunakan motornya. Seandainya Badi tipe saya, saya tidak akan melepaskan dia untuk perempuan lain. Namun sayangnya kami hanya dicocokkan untuk menjadi teman baik saja. Dan saya beruntung bisa mengenal Pengkuh Pribadi. Meski sama-sama sibuk dengan kegiatan masing-masing dan tidak pernah berkomunikasi lagi, saya selalu mendoakan dari jauh, semoga Badi mendapatkan apa yang menjadi cita-citanya. Semoga Badi juga mendapatkan pendamping yang mengerti dan saling mencintai satu sama lain. Serta tidak lupa, maafkan Widi soalnya tulisan tentang Badi sudah telat 3 tahun dari perkiraan awal. Hehe. Salam SOS bray.

Jumat, 23 Desember 2011

IBU, KADU, DAN MANGU

Kemarin, tanggal 22 Desember 2011, adalah hari yang didedikasikan untuk para ibu di dunia. Pada hari ibu, hampir seluruh anak merayakannya dengan cara yang berbeda-beda dengan tujuan untuk membuat ibu mereka bahagia pada hari itu. Hanya sebagian saja yang menganggap hari ibu sama dengan hari-hari lainnya. Saya termasuk ke dalam kumpulan sebagian orang yang menganggap hari ibu biasa saja. Saya bukan tipe orang yang suka merayakan sesuatu, kecuali tentu saja saya masih merayakan hari raya islam (karena itu adalah tradisi). Lagi pula, untuk membahagiakan ibu atau orang lain, menurut saya, tidak perlu pada hari tertentu. Lebih baik apabila melakukannya setiap saat kita bisa, kan(?)

Pada hari Kamis di hari ibu, saya melakukan aktivitas seperti biasa. Bangun pukul 05.00 WIB, sholat, mandi, sarapan, dan bekerja di Toko sampai pukul 16.30 WIB. Yang sedikit berbeda adalah sepulang kerja saya dan adik pergi jalan-jalan sambil membeli kadu (Durian) dan mangu (Manggis). Ketika membeli buah-buahan ini, naluri sastra menyimpang saya tiba-tiba saja muncul. Naluri ini sering sekali menemani ketika saya masih kuliah, dan saya senang, setelah sekian lama tak bersua, dia datang mengunjungi benak saya lagi, walau sekejap.

Dalam benak saya (pada saat itu), sang naluri menganalogikan buah kadu dan mangu itu sebagai seorang ibu. Bagi saya, yang merupakan penggemar berat kedua buah-buahan tersebut, saya selalu menunggu datangnya musim kadu dan mangu. Seperti halnya saya selalu menunggu kedatangan ibu apabila ibu sedang bepergian. Selalu ada yang kurang ketika saya tidak bisa mengecap rasa kadu dan mangu, seperti halnya ketika saya tidak bisa mengecup ibu. Apabila saya membeli kadu dan menyimpannya di rumah, aroma khas buah tersebut memenuhi seluruh ruangan di rumah. Tidak ada seorang pun yang tidak bisa mencium aroma tersebut, kecuali orang yang sedang sakit flu atau yang mengalami gangguan indera penciuman. Sama seperti ibu. Kehadirannya di dalam rumah tidak pernah terabaikan. Ada aura khusus yang menyelimuti seluruh rumah yang dipancarkan oleh seorang ibu, sehingga kita merasa betah.

Terakhir adalah mengenai kulit luar dari kadu dan mangu, jenis kulit yang berduri dan keras. Seperti halnya seorang ibu. Bukan, bukan jenis kulit yang sama tentunya. Seorang ibu, khususnya ibu saya, memiliki sikap yang tegas ketika mendidik anak-anaknya. Ibu juga sangat tegar dan kuat sehingga beliau mampu mengurus rumah tangga dengan sangat baik. Ibu selalu memberikan dorongan positif untuk ayah sehingga ayah selalu semangat bekerja demi keluarganya. Ibu yang menggunakan tameng sempurna untuk menutupi kelembutan (atau lebih tepatnya kerapuhan) yang ada di dalam hatinya agar keluarganya tidak ikut merasa rapuh dan lemah.

Saya sangat menyukai kadu dan mangu, seperti halnya saya sangat mencintai mamah…ups!...ibu. Jadi, salah satu alasan saya tidak merayakan hari ibu adalah karena saya tidak memanggil orangtua perempuan saya ibu, melainkan mamah. hehehe

Kamis, 25 Agustus 2011

Sebut saja Lembar Persembahan (Bagian 2-tamat)

Saya mempersembahkan ucapan terimakasih yang teramat banyak kepada orang-orang yang, secara langsung maupun tidak langsung, telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Repetisi dalam Penggambaran Gaya Hidup Hedonis dalam Tiga Novel Karya F. Scott Fitzgerald”; mereka adalah

1.Mamah dan Bapak.

2.Dosen-dosen Fakultas Sastra, khususnya bapak Ari J. Adipurwawidjana dan ibu Ida Farida serta para dosen pengutamaan sastra, yang sudah membagikan banyak ilmu dan pengalamanya.

3.Ilham Mulah Putra yang bersusah payah membuat kartu anggota perpustakaan Maranatha agar bisa meminjam novel-novel Fitzgerald yang saya butuhkan untuk menulis skripsi. Cobain ngetik di dalam perpus kampusmu sendiri, am. Semoga TAnya cepat rampung dan selalu semangat di tempat kerjanya. ;)

4.Mahesa Bagas Satya sebagai pembimbing ketiga yang selalu menyediakan waktu luang di sela-sela jadwal padatnya untuk berdiskusi, berbagi informasi, memasakkan kudapan enak, membantu membuatkan desain CD, membaca tulisan saya, dan tentu saja berhedon bersama sehingga saya bisa lulus sebulan setelah lulusnya sang legenda sastra. Sukses selalu, BagasSS! :D

5.Christy Tisnawijaya, Arlin Widyastuti, Peni Desiana, Yolanda Priska S., Ceriya Mayasari, Dyah Apriastuti CHP, Ihsan Naufal, Zita Reyninta S. dan semua teman-teman pengutamaan sastra 2011 yang selalu bergotong royong serta saling menyemangati dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah, selalu siap sedia apabila diajak berbagi informasi dan pastinya berhedon juga. Lekas bereskan punya kalian, temans. Jangan lupa selalu teror Teguh Wijayanto agar dia bisa mulai mengetik dan pensiun jadi pejabat.

6.Teman-teman kelas C 2007, Fathia Anggriani, Arie Bukhori, Risya Ayu, Miftahul Ilmi, Fifi K.J, Irfan Fahmi, Tika Febrianantya, Tia Lestari, Indra Maulana, dan lain-lain yang memberikan semangat dan motivasi untuk terus menulis.

7. Alfin Tofler yang tanpa pamrih selalu membantu mencarikan data-data yang saya butuhkan untuk menulis; Aditya Eko, Adyasa P.Devindra, dan Etzioni I. yang tidak lelah membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya; Ajeng Chunduk yang sukarela memberikan sarana penyalur informasi penting bagi saya dan teman-teman; Selly Andrea dan Andra N. Oktaviani yang terus mengingatkan dan memberikan semangat untuk terus menulis; Miranti C. yang sangat membantu memperbaiki penampilan saya sebelum sidang, dan teman-teman senior lainnya yang memotivasi saya untuk bisa segera merampungkan kitab keramat. Terimakasih, kaka.

8.Semua teman-teman yang meluangkan waktu untuk memberikan semangat dan selamat. Teman teman Sastra Inggris Angkatan 2007-2009, Pondok Roslina, PTS, GSSTF, KKN, FOS, dan semuanya, terimakasih banyak.

Saya akan sangat merindukan dipanggil bubidan. :) Sukses selalu untuk semuanya.

Sebut saja Lembar Persembahan (Bagian 1)

Sebelum menyebutkan orang-orang yang memiliki peran besar sehingga saya bisa mendapatkan gelar Sarjana Sastra, saya mau sedikit berbagi informasi (atau mungkin bisa dibilang curhat).

Sampai sekarang saya masih tidak menyangka bahwa saya bisa menyelesaikan studi di Sastra Inggris Universitas Padjadjaran tepat waktu. Alasannya hanya satu, karena saya adalah mahasiswa Sastra Inggris pengutamaan sastra. Dari mulai saya menjadi mahasiswa tingkat 1, sudah banyak ‘katanya’ yang saya dengar dari para senior di kampus. Salah satu ‘katanya’ yang paling tersohor di setiap angkatan adalah “Jangan pilih pengutamaan sastra, katanya dosen-dosennya suka ‘membantai’ terus mahasiswa-mahasiswa di pengutamaan sastra lulusnya lama.”

Dari ‘katanya’ tersebut, saya (yang pada saat itu adalah seorang mahasiswa baru yang menganggap senior sebagai orang-orang yang lebih berpengalaman (dan keren (serta pintar))) tentu saja memercayai mereka dan mencap pengutamaan sastra sebagai hal yang menyeramkan. Pada saat itu saya beranggapan bahwa betapa hebat, berani, kuat, dan pintarnya senior-senior saya yang memutuskan untuk memilih pengutamaan sastra dan berhadapan dengan dosen-dosen yang suka membantai itu.

Selama proses pembelajaran (dari semester 1 sampai semester 4), saya memutuskan untuk menjadi mahasiswa yang mencari aman dengan cara selalu berada di barisan suara terbanyak. Misalnya, kalau kebanyakan teman saya pilih A, maka saya pun turut memilih A. Akan tetapi, ketika memasuki semester 5, saya meragukan keputusan yang saya buat sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh metode belajar-mengajar yang jauh berbeda yang saya terima di beberapa mata kuliah yang saya ambil pada waktu itu. Di semester 5 dan semester 6, banyak sekali ujaran “Ooooohhh gituu!” dan “Oh iya, ya!” di beberapa mata kuliah tersebut.

Singkat cerita, saya akhirnya berhadapan dengan semester 7. Memasuki tingkat 4, saya dan teman-teman wajib memilih pengutamaan. Pilihannya hanya ada dua, pengutamaan Sastra atau pengutamaan Linguistik. Saya pun memilih pengutamaan sastra. Sampai sekarang, saya tidak tahu alasan memilih pengutamaan ini. Apabila mengacu pada anggapan saya sebelumnya terhadap para senior yang masuk pengutamaan sastra, dapat dikatakan bahwa saya bukan orang hebat, saya sangat penakut, tentu saja saya juga tidak termasuk orang yang kuat, dan saya tidak pandai atau pintar (karena salah satu orang berpengaruh di kampus juga bilang “you are hardly intelligent”). Jadi, saya tidak punya bekal apa-apa ketika memilih pengutamaan sastra. Beberapa teman memilih pengutamaannya masing-masing dengan barbagai alasan, misalnya mereka ingin cari aman, karena ingin lulus cepat, atau karena tidak ingin bertemu lagi dengan dosen tertentu. Kalau saya, saya sekadar ingin memilihnya saja.

Pada awalnya, saya merasa takut dan ingin sekali mundur karena saya tidak memiliki alat tempur apapun untuk menghadapi para dosen yang ‘katanya’ suka membantai. Namun, semakin sering masuk ke kelas sastra, saya menyadari bahwa banyak sekali hal yang belum saya ketahui dan juga banyak sekali hal penting yang saya abaikan di masa sebelumnya. Oleh sebab itu, makin banyak ujaran “Ooooohhh gitu!” dan “Oh iya, ya!” yang keluar. Mengenai masalah bantai-membantai, saya rasa maksud para senior dari ‘dosen-dosennya suka membantai’ di sini adalah para dosen pengutamaan sastra selalu memberikan banyak sekali bahan bacaan serta tugas membuat tulisan atau esai. Tidak ada soal pilihan ganda atau jawaban singkat di semua UTS dan UAS mata kuliah pengutamaan sastra. Di pengutamaan sastra, mahasiswanya dituntut untuk rajin membaca dan menulis kalau mereka ingin keluar hidup-hidup (atau keluar kelas dengan nilai memuaskan). Tidak baca + tidak menulis = mendapat nilai kecil.

Saya sudah bicara terlalu banyak. Sebaiknya saya mulai menulis kesimpulan informasi (atau curhat) ini dan memulai menulis daftar orang-orang yang saya janjikan sebelumnya. Jadi, bagi siapa saja yang membaca tulisan ini (khususnya) teman-teman angkatan 2008, 2009, 2010, 2011, dan seterusnya, kalian boleh saja mendengar ‘katanya’ yang sudah melegenda tersebut, tapi janganlah langsung memercayainya. Pertama, tanyakan dulu berapa IPK senior kalian yang menyebutkan ‘katanya’ tersebut, terus tanya juga apa pengutamaan yang dia ambil beserta alasannya dan jangan lupa, tanya juga dia angkatan berapa. Saya, yang juga merupakan senior angkatan 2007 lulus dengan IPK terakhir 3,10 dan mengambil pengutamaan sastra, ingin bilang bahwa ‘katanya’ tersebut tidak boleh kalian percayai. Selama belajar di kelas-kelas pengutamaan sastra, kami diajarkan untuk menjadi berani (mengeluarkan pendapat), kuat (menghadapi sepetan atau sindiran para dosen),dan rajin (membaca dan membuat tulisan), sehingga kalau sudah waktunya menghadapi dunia kerja, kita sudah memiliki senjata untuk melawan para pembantai yang sebenarnya. *agak lebai memang, tapi…sudahlah*

Satu paragraf terakhir ya! Janji! Menurut saya, lulus cepat tidak tergantung pada pengutamaan yang dipilih atau kepintaran yang dimiliki, tetapi hanya tergantung pada sifat rajin saja. Rajin kuliah, rajin baca, rajin nulis, dan rajin bimbingan.

kenapa ‘tin’ dan kenapa ‘pus’.

Nama saya Widi Zakiyatin Nupus. Ketika saya menyebutkan nama lengkap, tidak sedikit orang yang bertanya tentang arti dari Nupus dan juga perubahan dari Zakiyatun menjadi Zakiyatin. Sebenarnya, saya mempunyai alasan tersendiri akan hal tersebut.
Ketika lahir, kakek saya memberikan nama Zakiyatun Nufus. Kakek menulisnya menggunakan tulisan arab di secarik kertas. Nama tersebut berasal dari bahasa Arab, Zakiyatun memiliki arti bersih dan suci, sedangkan nufus berarti jiwa. Ayah saya memberikan nama Widi sebagai nama depan. Dalam bahasa Sunda, ada istilah ‘diwidian ku gusti’ yang berarti diridhoi oleh Tuhan. Maka Widi dapat diartikan sebagai Ridho. Jadi, nama lengkap saya yang sebenarnya adalah Widi Zakiyatun Nufus memiliki arti jiwa yang bersih, suci dan diridhoi.
Saya adalah seorang anak yang sangat bahagia karena mendapatkan banyak kasih sayang dan perhatian dari orangtua dan dari orang-orang sekitar. Mamah pernah bilang, di mana pun saya singgah, saya akan mendapatkan banyak perhatian dan disukai oleh orang-orang yang berada di tempat yang saya singgahi. Dan hingga detik ini, perkataan mamah memang terbukti benar. Orang-orang baru yang saya temui, baik yang lebih tua, seusia, maupun yang lebih muda, selalu memberikan respon positif terhadap saya. Hal tersebut tentu saja memiliki penjelasan. Dari kecil, mamah selalu mengajarkan anak-anaknya untuk bersikap sopan dan bertutur kata halus kepada keluarga serta kepada setiap orang yang ditemui. Hal kecil semacam sapaan sopan ataupun hanya memberikan senyuman kepada orang lain yang baru ditemui akan memberikan kesan baik. Preman sekali pun akan segan untuk mengganggu kita apabila sikap kita sopan terhadap mereka.
Akan tetapi, tidak semua orang menghargai sikap seperti itu. Di tulisan saya sebelumnya, saya sudah menerangkan bahwa saya dibesarkan oleh keluarga yang serba berkecukupan. Kondisi badan saya pada saat itu terbilang sehat dan bentuk tubuh saya ideal, namun saya dianggap gemuk karena saya bersekolah dasar di perkampungan yang mayoritas anak-anaknya serba hidup kekurangan. Banyak anak-anak yang sedang nongkrong di jalan yang mengejek saya sebagai gadis gemuk. (selengkapnya ada di widinupus.blogspot.com)
Pada saat itu, acara Si Doel Anak Sekolahan merupakan acara TV yang sangat diminati oleh banyak orang. Di sana terdapat tokoh yang bernama Zaitun yang dipanggil Atun. Atun memiliki badan yang subur, dan tentu saja hal itu berdampak pada panggilan masyarakat terhadap orang-orang berbadan subur di lingkungan tempat tinggal mereka. Orang-orang yang berbadan subur diidentikan dengan tokoh Atun, dan saya termasuk ke dalam kategori tersebut. Setiap berjalan kaki, walau saya berusaha untuk bersikap seramah mungkin, selalu saja ada orang iseng yang mengejek saya gendut dan/ memanggil saya dengan sebutan Atun. Begitu pula dengan teman-teman jail yang sudah tahu nama lengkap saya dan menemukan kata Atun di ZakiyATUN, mereka otomatis juga memanggil saya demikian.
Saya memiliki sifat sangat sensitif. Banyaknya ejekan dari orang-orang iseng tersebut membuat saya tumbuh menjadi gadis yang tidak percaya diri dan selalu memandang diri saya rendah. Panggilan Atun membuat saya tidak suka dengan nama saya sendiri karena Atun mengingatkan bahwa saya memiliki badan gemuk dan karena badan gemuk, saya menerima ejekan-ejekan tersebut dari orang-orang. Oleh sebab itu, saya meminta kepada pihak sekolah untuk mengubah Zakiyatun menjadi Zakiyatin di daftar hadir, daftar nilai dan bahkan ijazah saya.
Mengenai perubahan Nufus menjadi Nupus dapat saya jelaskan secara singkat. Penjelasan pertama, perubahan huruf ‘f’ menjadi ‘p’ merupakan pengaruh kesundaan keluarga saya. Saya dan keluarga, yang berdomisili di Tasikmalaya dan juga Garut (tepatnya Pameungpeuk), adalah suku Sunda. Semua orang tahu bahwa Sunda sangat akrab dengan huruf ‘p’. Ketika hendak menyebutkan kata Nufus, orang sunda akan menyebut Nupus. Maka, terdapat beberapa kesalahan pengucapan yang kemudian menimbulkan kesalahan penulisan dari Nufus menjadi Nupus di surat-surat penting keluarga saya, termasuk akta lahir. Penjelasan kedua, kakek saya memberikan nama Nupus tersebut kepada setiap cucu perempuannya. Misalnya sepupu saya bernama Anissa Nur Fitri Yatin Nupus dan ada pula sepupu lain yang bernama Avina Nupus. Jadi, Nupus yang berasal dari kata Nufus menunjukkan bahwa saya adalah orang Sunda, dan Nupus merupakan sebuah identitas (atau bisa disebut sebagai marga) yang diberikan kepada cucu perempuan kakek saya.
Kalau ada orang yang bertanya mengenai Zakiyatin atau Nupus lagi, saya berharap dapat menyodorkan tulisan ini tanpa harus menjelaskannya secara lisan.

Rabu, 11 Mei 2011

Saya Gemuk, dan Saya tidak Menyesalinya

Sekali-kali, saya ingin meluapkan emosi yang terlalu lama disimpan dan saya abaikan. Sebenarnya saya malu membuat tulisan ini, tapi hanya dengan tulisan, saya bisa dengan lancar mengeluarkan segalanya.

Saya terlahir dari keluarga yang sangat bahagia, dan (alhamdulillah) cukup berada. Hal ini dapat terlihat jelas dari kondisi fisik saya dan anggota keluarga lainnya. Ya, kami semua berbobot diatas rata-rata alias gemuk. Orangtua saya mendidik anak-anaknya untuk tidak boros berbelanja barang-barang yang nantinya akan rusak, dan kita pun tidak merasa puas dengan berang-barang tersebut. Mereka lebih mengarahkan anak-anaknya untuk memuaskan diri dengan makanan. Bapak saya pernah berkata “Kita kerja agar bisa makan, dan kita bisa hidup karena makan.” Oleh karena itu, anak-anak mamah dan bapak lebih puas belanja banyak makanan daripada pakaian, tas, atau sepatu. Bapak saya juga selalu mengajarkan untuk selalu bersikap rendah hati dan tidak membeda-bedakan teman. Kalau mendapat rezeki, bapak selalu mencontohkan bagaimana caranya berbagi dengan orang-orang yang kurang mampu. Salah satunya lewat makanan.

Sebenarnya, sewaktu masih sekolah dasar, bobot tubuh saya terbilang ideal. Namun, karena saya bersekolah di lingkungan masyarakat dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, saya terbilang gemuk apabila dibandingkan dengan teman-teman sekolah saya yang lainnya. Saya sering terpuruk karena ejekan dari teman-teman saya di sekolah. Ejekan-ejekan tersebut tak berhenti saya terima dari SD sampai SMP hanya karena saya berbadan gemuk. Mungkin, kegemukan bagi mereka adalah semacam aib yang sangat memalukan. Sekali lagi, bapak dan mamah saya selalu membuat saya terus bertahan menerima ejekan-ejekan itu. Mereka mengajarkan saya agar terus ikhlas dan bersabar.

Menginjak pendidikan SMA, saya berkelana ke Garut kota. Saya bersekolah di salah satu sekolah terbaik di wilayah Garut. Saya tinggal di rumah saudara selama setengah tahun. Akan tetapi, dikarenakan satu dan lain hal, saya meminta kepada orangtua untuk tidak lagi menyusahkan saudara saya tersebut dan lebih memilih hidup sendiri di sebuah kosan. Dari kehidupan kosan, saya mulai belajar mengatur kehidupan sendiri tanpa bantuan dari siapapun. Saya pun mulai mengetahui bahwa saya sangat senang berada di dapur dan bereksperimen dengan bahan makanan yang ada. Sangat menyenangkan memiliki keluarga dan teman-teman baru yang bisa diajak untuk memasak bersama di akhir pekan, dan hasil masakannya kita makan bersama. Itu lebih indah daripada makan bersama saudara sendiri yang kita tidak tahu apakah dia ikhlas memasakkan makanan tersebut atau tidak. Kegemaran memasak saya sangat didukung oleh mamah dan bapak. Setiap pulang di musim liburan, selalu tersedia bahan makanan yang bisa saya olah di dapur.

Orang gemuk identik dengan banyak makan. Saya sangat tidak setuju dengan pernyataan itu. Justru menurut saya, gemuk tidak selalu berbanding lurus dengan pasokan makanan berat yang diterima perut mereka. Orang-orang selalu menghakimi secara sepihak tanpa memperhatikan sisi lainnya. Saya sendiri hingga sekarang masih makan sewajarnya, dua kali sehari dengan porsi wajar pula. Hanya saja, saya suka mengumpulkan cemilan. Disaat merasa tertekan baik oleh tugas kuliah atau masalah, saya melampiaskannya dengan makan cemilan. Cemilan tidak akan lupa saya cantumkan dalam daftar belanjaan bulanan.

Latar belakang saya menulis tulisan ini adalah teman-teman dekat saya sendiri. Saya pikir, setelah menginjak dunia perkuliahan, saya tidak akan menerima ejekan-ejekan lagi. Kita sudah cukup dewasa untuk tidak menilai orang secara fisik. Tetapi, ejekan-ejekan itu masih tetap ada dengan ‘kemasan’ yang baru.
Ketika belanja bulanan bulan ini, ada seorang teman yang ingin turut serta. Teman saya kaget melihat belanjaan saya. Dia bilang “wid, kapan mau berubahnya kalau belanjaannya kayak gitu semua?” ada juga beberapa teman yang menyarankan banyak produk pelangsing untuk merubah saya menjadi apa yang MEREKA inginkan.

Saya menikmati menjadi diri saya sekarang, saya tidak menyesali apa yang sudah tuhan berikan, dan saya tidak ingin merubahnya. Kenapa mereka yang repot-repot ingin merubah saya? Mereka malu berteman dengan saya? Lantas, kenapa mereka mau berteman kalau mereka malu? Berteman saja dengan orang-orang berbadan ideal. Selesai perkara. Mungkin saya pernah terhasut untuk menjadi apa yang MEREKA inginkan, tapi mamah saya terus-terusan mengingatkan, “ada masanya teteh berubah. Saat ini bukan masa yang tepat. Jadi, buat apa dipaksakan untuk berubah?”

Intinya, silakan anggap saya orang asing kalau memang malu berteman dengan saya. Sekian.