Senin, 22 November 2010

Rumahku, Keluargaku, Surgaku

Setelah 2 bulan merasakan 'penyiksaan' yang selalu saya coba untuk menikmatinya, akhirnya saya pulang ke rumah, tempat tinggal yang paling nyaman, tenang dan indah. zona yang paling nyaman yang saya miliki. 9 hari disana cukup membuat saya lebih tenang, walau kerjaan saya hanya diam di rumah, bersih-bersih sebisanya, dan ngobrol serta bermain bersama keluarga.
Saya merupakan tipe orang yang tidak suka keluyuran, rumah keluarga saya sungguh terlalu sayang apabila harus terus ditinggalkan. Kenyamanan yang tiada tara yang dimiliki oleh rumah saya, belum ada yang bisa menandinginya.
kemarin saya rutin pergi ke villa keluarga yang kami sebut Joglo. Joglo ini bukan rumah adat, kami menyebutnya Joglo karena villa tersebut dibangun di daerah Joglo, Pameungpeuk-Garut.






















Saat ini, saya ingin selalu bersama mereka semua di kediaman kami. Saya tidak ingin terus-terusan meninggalkan indahnya kebersamaan bersama keluarga.

Rabu, 20 Oktober 2010

Saya Blogger Sombong

Ketidaksengajaan menelusuri berbagai laman yang saya miliki, dan rasa penasaran akan eksistensi saya di sebuah mesin pencari, seketika saya dikagetkan oleh sebuah fakta bahwa blog yang saya buat telah dibaca oleh beberapa orang asing, dan mereka berasumsi bahwa saya adalah termasuk seorang blogger sombong berdasarkan tulisan-tulisan yang sudah saya publikasikan di blog yang saya buat sendiri.

http://www.cari-info.co.cc/search/Cerita+Saya+Ketemu+Blogger+Sombong

Walau tidak penting untuk saya menanggapi hal itu, namun saya ingin sedikit mengklarifikasi bahwa tujuan saya membuat blog adalah untuk mencurahkan beberapa pemikiran, kebanggaan terhadap diri, keluh kesah, dan pandangan bodoh saya (oleh karena itu saya menyebut diri saya pandir) lewat sebuah ‘wahana’ yang dapat didekorasi sedemikian rupa sehingga menyerupai apa yang pikiran saya inginkan.
Apabila ada yang berkenan mengunjungi laman ini, saya terimakasih.
Namun betapa masokis (atau mungkin sadis) orang-orang yang langsung menghakimi tanpa melakukan ‘close reading’ terlebih dahulu atas teks-teks yang mereka temukan.

Di satu sisi, tak terelakkan kalau saya sakit hati, namun di sisi lain, saya memang pantas masuk ke dalam keluarga SOS.

Kamis, 30 September 2010

Solid, Olrait, Sombong KKNM Kertasari 2010 (Part 3)

Saya bangun pukul 04.00 WIB di hari ketujuh (07/07), hari piket saya bersama Cucu, C’bows, Asep, Thorry dan Ryan. Saya bergegas mandi, mencuci pakaian, dan kemudian shalat subuh. Setelah merapikan diri, Cucu dan C’bows pun dibangunkan, kemudian saya menuju kamar atas untuk membangunkan tiga anggota lainnya sambil menjemur pakaian yang tadi saya cuci. Hari pertama piket, saya ingin membuat masakan yang sederhana dan mengenyangkan, masakan yang sering saya buat bersama teman-teman sepermainan di rumah, bakso aci. Saya menguleni adonan hingga siap untuk dibentuk. Seni membuat bakso aci yang paling menonjol adalah kebersamaan ketika proses pembentukan. Adonan yang dibuat cukup banyak, tidak semuanya dijadikan sayur. Sebagian adonan dimanfaatkan oleh Ruddy, Opik dan para pria lainnya untuk berkreasi membuat cireng beraneka rupa. Bentuk cangkir, peluit, kue tambang, hingga feses unyu ( lucu) pun siap untuk digoreng. Sayur bakso aci dihidangkan bersama tahu goreng dan saos sambal sebagai menu brunch.

Setelah perut kenyang, kondisi ruangan di rumah sudah disapu dan dipel, piring sudah dicuci, dan penampilan sudah rapi, kami bersiap untuk menghadapi kesibukkan di hari Rabu yang spesial bagi PJ Seni dan Budaya. Hari itu bertepatan dengan Rajaban, Anggra mengusulkan mengadakan lomba-lomba keagamaan. Hadiah-hadiah bagi para peserta dan pemenang sudah dipersiapkan dari hari keempat kami disana. Lomba-lombanya pun sudah dikonsep sedemikian rupa dari jauh-jauh hari. Siang itu kami berangkat menuju mesjid di dekat rumah Pak Kuwu dengan didahului ‘tos olrait’ untuk pertama kalinya atas inspirasi dari Asni.Sebagian dari kami mempersiapkan ruangan dan properties yang akan digunakan untuk lomba, dan sebagian lagi menunggu waktu pelaksanaan lomba di rumah lain milik keluarga Pak Kuwu. Warga di Desa Kertasari sangat ramah kepada kami. Berbagai suguhan tidak sungkan-sungkan mereka keluarkan, dan kami pun tidak malu-malu untuk segera menghabiskan suguhan tersebut. Begitulah kami, para pemusnah makanan. Dimana pun kami singgah, makanan dengan cepat ludes tak bersisa.

Acara Seni dan Budaya terbilang sangat sukses. Para warga (khususnya anak-anak) sangat antusias untuk turut serta memeriahkan setiap lomba seperti kaligrafi, adzan, dan membaca Al-Quran dengan nada-nada elok. Tidak hanya warga dusun Leuwipicung, warga (anak-anak) dari dusun Sirnagalih pun ikut ambil bagian. Walau lelah, namun kami merasa sangat puas dan berbangga atas hasil kerja keras anggota yang dipimpin oleh Anggra. Tidak salah kami memilih dia sebagai PJ Seni dan Budaya. Kami pulang dengan badan lemas namun hati senang. Tim piket RATU (Rabu-Sabtu) kembali mempersiapkan bahan-bahan masakan untuk hidangan makan malam.

Pukul 08.00 sebagian dari kami pergi mengunjungi rumah Pak Oneng. Beliau adalah orang yang cukup berpengaruh di SDN Leuwipicung. Saya dan Ryan berbincang sekaligus meminta ijin untuk ikut mengajar, tidak lupa Nadya dan C’bows dari tim kesehatan juga meminta ijin untuk mengadakan sanitasi kesehatan di SDN tersebut. Seperti Perangkat Kecamatan, Staf SMPN Satu Atap 5 Cipatujah, dan Perangkat Desa, Pak Oneng pun menyambut baik niat kami.

Keesokan harinya (08/07), tim kesehatan bekerjasama dengan ibu bidan dusun Leuwipicung, yang kebetulan akan melaksanakan imunisasi, membuat acara penyuluhan imunisasi yang diselenggarakan di rumah ibu bidan. Dalam kegiatan itu, hanya tim kesehatan (Nadya, Asni, Nemo, Ira, C’bows, dan Hellen) -yang dibantu oleh Bunga sebagai MC- saja yang ambil bagian. Sisa anggota beristirahat di rumah. Kebetulan hari kamis itu saya sudah memiliki janji dengan Pak Oneng di SDN Leuwipicung untuk membicarakan kegiatan belajar-mengajar tim KKNM di SD. Walau janji bertemu pukul 10.00, saya sudah mandi dan rapi beberapa jam sebelumnya. Daripada tidak melakukan apapun di rumah, saya memutuskan untuk pergi bersama tim kesehatan dan Bunga ke rumah ibu bidan.

Kinerja Tim Kesehatan membantu ibu Bidan pada hari itu sungguh tampak cekatan. Nadya sebagai gegeduk kesehatan dengan telaten mencatat setiap informasi tentang ibu dan anak di bagian pendaftaran, Asni dan Nemo membantu ibu dan bayi memeriksa perkembangan Berat Badan dan Tinggi badan mereka, khususnya para bayi dan balita. Anggota lainnya (Ira, Hellen, C’bows) membantu ibu bidan memeriksa ibu hamil dan memberikan imunisasi kepada para malaikat kecil berwajah innocent. Daripada hanya duduk dan memperhatikan saja, saya meminta ijin kepada tim kesehatan untuk menjadi pubdok (publikasi dan dokumentasi) pada kegiatan tersebut. Ketika Nadya ingin memulai penyuluhan, suasana pada saat itu tidak terkendali sekali. Ibu-ibu sedang sibuk mengurus arisan yang digelar bersamaan dengan selesainya imunisasi.

Saya dan bunga pamit terlebih dahulu karena kami harus bertemu dengan Pak Oneng di SDN Leuwipicung untuk membicarakan lebih lanjut program KKNM bidang pendidikan disana. Kondisi SDN Leuwipicung terbilang cukum mengkhawatirkan. Ada 5 kelas disana, satu kelas dipakai secara bergiliran oleh murid-murid kelas 1 dan 2, satu kelas disampingnya khusus dipakai untuk kelas 3. Suasana kedua kelas tersebut menurut saya sangat tidak kondusif untuk belajar. Ruangan kelas 4, 5, dan 6 seperti baru direnovasi. Ketiga ruangan tersebut jauh lebih bagus dibandingkan semua ruangan di SDN itu. Ada sebuah ruangan kosong, pak Oneng berkata bahwa dulu ruangan itu digunakan sebagai ruang kesehatan. Sayangnya, gempa besar yang melanda kota Tasik dan sekitarnya membuat sebagian besar ruangan tersebut rusak parah dan tidak layak untuk dipakai lagi. Sebuah perpustakaan kecil yang ada di SDN Leuwipicung memiliki koleksi buku dan alat peraga pembelajaran yang cukup komplit, mungkin perlu sedikit penataan sehingga bisa membuat murid-murid betah berlama-lama disana. Jenis tanah disana adalah termasuk tanah merah yang kurang ditumbuhi rerumputan yang apabila diguyur oleh hujan, maka tanah tersebut akan sangat becek. Pak Oneng pun berkata kalau di SDN Leuwipicung jarang mengadakan upacara bendera ketika musim hujan. Selain melakukan survey, saya dan bunga juga melihat jadwal pelajaran yang sudah diatur kurikulum sekolah sekaligus meminta modul setiap mata pelajaran yang akan kami ajarkan selama program pendidikan di SDN Leuwipicung.
Di hari ke sembilan, tim kesehatan melanjutkan penyuluhan ke Sirnagalih. Hanya beberapa orang yang pergi, sisa anggota yang ada di rumah tidak melakukan kegiatan berdasarkan program. Kami bercengkrama, becanda, beres-beres rumah, nonton, makan dan tidur, itulah kegiatan rutin yang sering kami lakukan di rumah. 

Esoknya, ada undangan yang diberikan oleh Punduh Sirnagalih. Beliau meminta kami untuk datang ke Madrasah disana dalam rangka perpisahan anak didik madrasah tersebut. Kelompok dibagi menjadi 2. Kelompok satu yang terdiri dari Badi, Nemo, Cucu, Mei, Anggra, Opik, Ryan dan Nadya ditugaskan untuk berbelanja barang-barang kebutuhan kami, terutama konsumsi ke Tasik kota. Duabelas lainnya mempersiapkan diri untuk perjalanan menuju Sirnagalih nanti siang. Sangat luar biasa, saya pikir medan yang harus kami tempuh untuk sampai ke dusun Sirnagalih tidak akan sehebat ini. Jalanan yang penuh dengan rintangan, becek, banyak turunan dan tanjakan, dan masih banyak lagi kejutan yang kami temukan selama perjalanan. Saya sempat menyerah dan hampir tumbang ketika kami menaiki bukit curam, namun ketika sampai puncak, rasa lelah sedikit terobati oleh panorama yang jarang saya lihat di daerah perkotaan. Bentangan sawah dan udara yang cerah membuat semangat saya kembali lagi. Perjalanan panjang tersebut lebih berkesan bagi saya karena dalam perjalanan itu, kacamata saya rusak dan penglihatan saya buram selama sisa waktu KKNM di kertasari, tanpa kacamata.

Rabu, 22 September 2010

SASTRA VS LINGUISTIK

Hari ini (24/08) adalah gerbang menuju perkuliahan tingkat empat. tidak terasa, saya sudah menjadi angkatan tertua (2004-2006 tidak dihitung) dan memiliki tiga junior di kampus. Pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) kali ini memiliki sensasi yang jauh berbeda dari pengisian KRS semester-semester sebelumnya. Saya (angkatan 2007) sudah diharuskan untuk memilih pengutamaan atau minat yang telah ditentukan sejak Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris dibangun. Ada dua pengutamaan dalam pembelajaran di Sastra. Linguistik dan Sastra. Kedua kata tersebut sudah mewakili definisi dan isi yang akan kita temukan didalamnya. Linguistik lebih mengacu kepada tata bahasa seperti phonetik, fonologi, semantik, pragmatik, sintaksis, dan ada pula penerjemahan (translation), sedangkan sastra mengutamakan karya sastra seperti novel, puisi, drama, atau teks yang harus dianalisa oleh para peminatnya.

Saya belum siap untuk memilih, tapi program para petinggi kampus memaksa saya untuk bergegas menentukan pilihan. Dari awal perkuliahan di kampus biru, saya lebih condong ke pengutamaan sastra. Ada dua alasan yang saya miliki; pertama, saya senang membaca karya sastra. Membaca adalah salah satu hobi yang paling menyenangkan bagi saya selain memasak, menonton dan menulis. Kedua, kebanyakan teman senior saya di Sastra Inggris dari angkatan 2006 kebawah masuk pengutamaan Sastra. Sayangnya, ada tiga alasan saya belum siap memilih mengambil pengutamaan Sastra; pertama, hobi saya memang membaca, akan tetapi bacaan yang saya punya adalah termasuk bacaan yang dapat dikonsumsi oleh umat manusia yang memiliki tingkat intelegensia standar. Selain itu, kebanyakan atau hampir semua bacaan saya menggunakan bahasa Indonesia. Ketika semester 5 saya mendapatkan mata kuliah further Studies in Prose, saya diberikan beberapa karya sastra novel berbahasa Inggris oleh dosen. Tidak ada satupun dari semua novel yang dia berikan beres saya baca. Saya terlanjur bosan dan pusing melihat berbagai macam kata-kata yang tidak familiar. Kedua, hampir semua teman-teman senior saya lulus tidak tepat waktu. Padahal saya yakin mereka mempunyai kemampuan yang sangat lebih dari saya, jauh di tingkat atas. Hanya ada satu orang senior 2006 bernama Aditya Eko Adriyanto yang dengan beruntungnya lulus tepat waktu (4 tahun). Alasan terakhir, saya sering menyimak dan memperhatikan bahwa semua dosen pengutamaan Sastra adalah tipikal orang-orang yang memiliki kepintaran berlebih. Kepintaran yang jauh diatas rata-rata membuat mereka banyak berulah, dan mahasiswa merekalah yang menjadi korban. Para mahasiswa ynag memiliki iman yang lemah dapat terpengaruh atau terdoktrin oleh perkataan dosen-dosen mereka di kelas, dan akhirnya menjadi pengikut setia.

Alasan-alasan tersebut membuat saya ragu untuk masuk pengutamaan Sastra. Ditambah oleh hasutan teman-teman 2006 yang sudah memiliki asam garam kehidupan disana sebelum saya. Banyak sekali penderitaan yang mereka ceritakan kepada saya baik secara langsung maupun secara tersirat. Saya semakin takut mengadapi keangkeran Sastra. Di sisi lain, saya juga tidak mau dicap sebagai seorang pengecut, hanya karena ketakutan dan cap angker yang dimiliki Sastra dan cerita orang-orang berpengalaman namun saya belum membuktikan sendiri, saya berpaling ke Linguistik. Malam-malam sebelum pengisian KRS, saya sudah berencana untuk melakukan shalat istikharah. Akdir berkehendak lain, saya kedatangan tamu rutin setiap bulan. Alhasil saya hanya bisa berdoa sebelum tidur agar tuhan saya memberikan petunjuk di dalam mimpi. Hasilnya masih samar-samar.

Di jam brunch, ketika saya sudah mendapatkan lembaran KRS dan daftar jadwal, saya belum berani menyalin semua mata kuliah pengutamaan Sastra. Hanya pandangan hampa yang saya berikan kepada lembaran tersebut selama beberapa lama. Setelah berpikir lama, saya yakin kalau saya seorang yang teguh pada pendirian, saya yakin saya bukan seorang pengecut, saya yakin saya bisa menghadapi semua kesulitan yang mungkin akan saya temui nanti, saya yakin pilihan yang saya ambil bukan karena saya terpengaruh dan ikut-ikutan teman-teman yang sudah senior. Sastra atau linguistik sama saja, hanya individu sendiri yang bisa menentukan apakah itu sulit atau tidak. Jika memang sastra sesulit dan lebih sulit dari linguistik, saya haya perlu meningkatkan tingkat kerajinan dan kemampuan saya. Intinya, jangan malas, belajar untuk sabar dan ikhlas.

Keyakinan saya sudah meningkat, sebelum pudar kembali, saya mengisi KRS dengan mata kuliah-mata kuliah pengutamaan Sastra. YA, SAYA MEMILIH SASTRA !

Selasa, 24 Agustus 2010

Ketika Jatuh Hati

Perasaan terlarang itu hanya singgah sebentar. Seperti kasus-kasus sebelumnya, dengan mudah saya bisa jatuh hati, dan dengan sangat mudah saya bisa melupakan bahwa saya pernah merasakan jatuh hati pula. Tinggal menunggu efek lanjutan yang sedikit saya harapkan. 

Akan saya ceritakan mengenai secuil kebiasaan apabila saya sedang merasakan jatuh hati kepada seorang pria. Pertama-tama, saya menganggap blog ini adalah privasi yang jarang sekali teman-teman saya kunjungi, tidak seperti facebook maupun twitter. Jadi saya bisa sedikit lebih terbuka sekaligus belajar memperbaiki struktur bahasa saya yang sedikit banyak sudah terkontaminasi oleh modernisasi.

Ketika jatuh hati
Saya tidak terlalu memperhatikan bagaimana sempurnanya fisik sang pria. Yang menjadi catatan utama adalah, saya bisa nyaman dan senang melihat dan berada lama-lama disampingnya.

Ketika jatuh hati
Seluruh pikiran saya terpusat kepada dia. Konsentrasi terpecah, keseharian hanya terus membayangkannya, dan apa yang pernah kami lalui bersama.

Ketika jatuh hati
Saya merenung tentang hal-hal bodoh yang pernah saya perbuat dihadapan dia sehingga membuat saya malu dan tidak berani mengingat untuk kesekian kalinya.

Ketika jatuh hati
Saya sangat suka berbicara sendiri, seolah ada dia disamping diri, menjadi teman mengobrol sepanjang waktu yang saya lalui.

Ketika jatuh hati
Perasaan dipenuhi kerinduan yang teramat mendalam, ingin mencoba berhubungan dengan menggunakan alat telekomunikasi, atau bahkan hanya telepati.

Ketika jatuh hati
Selalu terbayang apabila kami kelak hidup berdua, duduk berdampingan, bersenda gurau, memakan masakan hasil bersama, atau bahkan marah dalam lingkup kemanjaan.

Ketika jatuh hati
Saya tidak dapat melakukan banyak tingkah dihadapannya. Lebih memilih diam dan banyak tertunduk karena malu.

Ketika jatuh hati
Sifat malu merangsang keringat-keringat kecil dibawah mata untuk semakin sering keluar, sehingga gesture tangan saya kebanyakan menutup wajah, mengelap keringat dibawah mata.

Ketika jatuh hati
Seringnya saya mendengar lagu-lagu yang memicu saya untuk semakin mengingat dia.

Ketika jatuh hati
Ingin selalu berbagi cerita bersama teman maupun orangtua wanita akan apa adanya pria yang saya suka secara berkala sampai mereka bosan mendengarkannya.

Namun
apabila rasa itu telah tiada,
Saya sudah mampu menatap dia ketika berbicara, memperlihatkan gesture seperti halnya teman biasa yang tidak menjaga sikap dan lebih terbuka.

Apabila rasa itu telah tiada,
Rasa malu seakan dimakan waktu sepenuhnya, tak bersisa. Dia tidak lagi sempurna di mata saya, hanya seorang pria biasa.

Apabila rasa itu telah tiada,
Kami malah semakin dekat, komunikasi semakin akrab, dia semakin peduli akan eksistensi saya pribadi.

Sayangnya, rasa itu telah tiada. Respon yang saya tunggu dari dia tak kunjung tiba hingga hati saya kembali diletakkan ditempatnya.

Jumat, 20 Agustus 2010

Solid, Olrait, Sombong KKNM Kertasari 2010 (Part 2)

Kami membutuhkan waktu kurang lebih 5-6 jam untuk bisa sampai ke Desa Kertasari. Di dalam bus nomor 69, saya duduk bersama Anggra. Anggra adalah teman Winnie, dan dia adalah orang pertama yang menyapa saya di jejaring sosial Facebook, berbasa-basi tentang kegiatan KKNM dan sedikit-sedikit membahas tentang Winnie; kemudian kami melanjutkan komunikasi lewat pesan singkat, saling bertanya tentang barang-barang yang akan dibawa untuk KKNM nanti, dan masih banyak lagi percakapan lainnya. Selama perjalanan, kami berbincang banyak hal, tentang ponsel, keluarga, dan banyak lagi. Genre musik yang kami sukai kebanyakan sama, oleh karena itu Anggra ‘merampok’ cukup banyak koleksi lagu yang saya miliki di ponsel. Setelah beberapa lama berbincang, Anggra tertidur, namun saya tidak dapat sedetik pun memejamkan mata meski malam sebelum keberangkatan saya hanya tidur selama satu jam. Saya hanya duduk termenung sambil melihat pemandangan diluar bus.

Cukup bosan melihat-lihat jalan, pandangan saya beralih pada dua orang lelaki yang duduk di barisan depan saya dan Anggra, mereka adalah Hendra dan Thorry. Dari pertemuan pertama hingga pertemuan-pertemuan berikutnya, saya tidak terlalu memperhatikan mereka. Bahkan saya pikir Hendra yang memiliki panggilan Ciha tidak datang di pertemuan pertama kami di Che.Co. Ketika kelompok kami memiliki group di Facebook, Ciha banyak berkomentar, begitu pula banyak komentar yang dia berikan di foto-foto hasil survey yang dilakukan tim pendahulu. Berbanding terbalik dengan ‘ke-cerewet-an’ dia di Facebook, Ciha menurut saya aslinya sangat diam. Dalam bus, dia duduk menggunakan penutup mata warna hitam, mengenakan headset, dan gesturenya menampakan bahwa dia menikmati lagu-lagu yang sedang dia dengarkan. Selaras dengan Ciha, sosok Thorry di mata saya sungguh sangat pendiam, lebih pendiam dari Ciha tepatnya. Dari pertemuan pertama, pembekalan, dan pertemuan selanjutnya, dia sangat minim berbicara, hanya menjadi penyimak. Walau demikian, Thorry selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan kami. Ketika awal pembekalan, dia duduk terpisah dengan kami (seperti Asni), namun seterusnya, Thorry ikut bergabung bersama barisan.

Hal menarik lainnya yang saya temui di dalam bus adalah ST12 dan kangen Band. Perjalanan yang kami tempuh menurut saya pribadi sangat berkesan karena diiringi oleh kedua band tersebut. Bukan apa-apa, saya mendengar banyak cerita dari teman-teman sekelas yang sudah melaksanakan KKNM di gelombang 1 bahwa selama KKNM, mereka jarang sekali mendengarkan suara Justin Bieber, Craig David, apalagi The Bird and The Bee. Musik andalan yang sering mereka dengarkan adalah Mau di Bawa Kemana (Armada), Keterlaluan (The Potters), Isabella (ST12), dan masih banyak lagi lagu dari band-band ternama di Indonesia. Ketika mendengarkan lagu-lagu ST12, saya tersenyum sendiri. Bukan karena saya sok Inggris dan meremehkan lagu-lagu tersebut, namun saya tersenyum karena kebenaran tentang cerita teman-teman saya terbukti di dalam bus nomor 69. Saya langsung telepon Risya, sahabat saya yang sangat bersemangat ketika menceritakan fenomena Band Indonesia di wilayah kegiatan KKNMnya di bulan Januari lalu. Dia juga tertawa puas ketika saya menceritakan pengalaman yang sama dengan dia.

Kurang lebih 4 jam sudah kami melakukan perjalanan, dikurangi waktu istirahat selama 20 menit. Rombongan bus berisi para mahasiswa yang melakukan kegiatan KKNM di daerah Tasikmalaya, tepatnya di daerah Cipatujah diturunkan di kantor kecamatan. Ada kejadian berkesan ketika kami tiba disana. Ketika perangkat kecamatan mulai mengomando para mahasiswa untuk berkumpul di aula, kelompok saya dengan sok tahu mengikuti rombongan yang masuk kedalam sebuah ruangan. Ternyata setelah ditelusuri, rombongan tersebut bukan pergi ke aula, tetapi ke toilet. Denganwajah polos kami keluar kembali dari ruangan itu dan duduk manis di aula. Disana kami disambut dengan baik oleh seluruh perangkat kecamatan.

Perjalanan dilanjutkan kembali, tapi tidak menggunakan bus nomor 69 lagi. Kelompok saya dijemput oleh pick up milik pak Kepala Desa Kertasari yang kemudian terkenal dengan sebutan Pak Kuwu. Dikarenakan kuota barang-barang yang kami bawa jauh lebih banyak daripada jumlah anggota satu kelompok, maka kami putuskan pemberangkatan dilakukan sebanyak 2 kloter. Kloter pertama adalah kloter barang-barang dan beberapa orang yang mengawasi. Saya termasuk kedalam kloter 2 bersama mayoritas anggota. kami memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu jemputan tiba. Opik, Nemo, dan Cucu pergi belanja sisa barang-barang yang dibutuhkan, sisanya (kalau tidak salah Saya, Asni, Mei, Ryan, Bunga, Ira, Anggra, Ruddy, Henly, Sahat dan Hellen) melanjutkan perjalanan. Setiap warga yang melihat kami berjalan, bertanya arah dan tujuan perjalanan kami. Ketika kami menyebut nama Kertasari, mereka sangat kaget. Dengan ekspresi wajah yang tampak shock, mereka bilang “KERTASARI ?! Masih salapan kilo deui, jang, ka Kertasari mah. Meuni kuatan mapah sajauh kitu!” Untungnya jemputan datang sebelum kami pesimis karena tidak sampai-sampai ke tempat tujuan. Sisa perjalanan yang dilalui membuat kami tertegun. Separah inikah jalan menuju tempat KKNM yang saya dan teman-teman pilih?

Setelah sampai di rumah yang disediakan pak Kuwu, saya mengucap syukur karena masih ada istana di tengah hutan seperti itu; namun dipinggir kanan dan kiri rumah, sangat minim sekali saya menemukan rumah tetangga. Setelah masuk kedalamnya, saya semakin merasa betah dan semakin bersyukur karena rumah tersebut sangat luas dan nyaman, akan tetapi kekecewaan mulai menjalar ketika saya sadari bahwa tidak ada sedikitpun jaringan yang dapat ditangkap oleh ponsel saya. Tidak mengapa. Ada 3 kamar di lantai bawah dan tiga kamar di lantai atas. Kaum perempuan menempati lantai bawah, saya sekamar bersama Henly, Icha, Nadya di sebuah kamar yang didalamnya ada kamar mandi.

Tim konsumsi segera beraksi, Nemo sang koki dari negeri Jiran mulai menunjukkan kebisaannya dalam mengolah makanan. Sebagian masih sibuk membereskan barang-barangnya, sebagian lagi menemani pak Cucu, berbincang, berceloteh sambil makan makanan kecil. Hari itu kami makan dengan menu sarden. Kenyang, dan saatnya membersihkan diri. Kamar mandi hanya 2 buah yang berfungsi, terpaksa kami menggunakan sistem ‘ngantri’, sehingga waktu yang dibutuhkan agar semua anggota bersih dan wangi menjadi lebih lama. Seusai beres-beres barang dan badan, kami bersiap untuk bersilaturahmi ke rumah pak Kuwu. Jarak antara rumah yang kami tempati hingga rumah pak Kuwu cukup jauh. Sepanjang jalan, kami bertemu dengan warga yang sedang bersantai di serambi rumah mereka masing-masing. Sapaan alakadarnya selalu terujar ketika kami bertemu dengan mereka.

Malam pertama di desa Kertasari, kami mengadakan rapat pertama. Didampingi oleh pak Cucu sebagai DPL, Ryan memimpin rapat itu. Kami membahas rencana program yang akan kami lakukan selama satu bulan di desa ini. Di dalam rapat tersebut saya -yang dibebani amanat menjadi bendahara- sedikit mengeluh tentang pengeluaran pertama yang jauh diluar dugaan. Untuk mengantisipasi adanya pengeluaran berlebih lagi, maka saya membuat peraturan kepada tiap divisi, pengeluaran kelompok kami dijatah sebanyak Rp.200.000/harinya. Jika melebihi jatah tersebut, maka pengeluaran hari berikutnya akan dikurangi sesuai dengan kelebihan pengeluaran di hari sebelumnya. Untungnya tidak ada yang protes atas peraturan yang bendahara buat. Selanjutnya dalam rapat pertama itu telah diputuskan bahwa program yang akan dilakukan selama satu bulan kami disana ada empat, yaitu dalam bidang Pendidikan, Pertanian, Kesehatan dan Seni Budaya. Kegiatan dalam tiap bidang ditentukan oleh tiap Penanggungjawab bidang yang akan ditunjuk keesokan harinya.

Menginjak hari kedua (02/07) kami disana, saya bangun lebih awal dari yang lain. Meski malam pertama disana saya tidur cukup nyenyak, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal saya untuk tidak tidur lebih lama. Melihat keadaan kamar mandi yang tak berpenghuni, saya memutuskan untuk mandi dan mencuci pakaian. Keuntungan bangun lebih awal yang saya rasakan diantaranya saya tidak usah lama mengantri dan saya pun bisa berlama-lama di kamar mandi. Pukul 08.00 kami pergi ke balai desa untuk meminta data desa sekalian berbincang-bincang. Dikarenakan pak Kuwu belum datang ke balai desa, Ryan, Cucu dan Nadya pergi ke rumah beliau. Pak Cucu berbincang dengan pak Sekdes didalam, dan kami para anggota berfoto dan becanda diluar. Banyaknya latar belakang daerah yang ada di kelompok kami merupakan sebuah peluang untuk saling belajar culture dan bahasa tiap daerah. Kami yang berada diluar balai desa sedikit-sedikit berbagi ilmu kebahasaan. Mayoritas kelompok KKNM Kertasari 2010 adalah warga Jawa Barat yang bisa berbahasa Sunda, walau ada juga anggota yang bukan berasal dari Jawa Barat dan hanya bisa menggunakan bahasa Sunda yang sedikit kasar. Mungkin yang tidak dapat berbahasa sunda dapat dihitung jari, seperti Hellen yang berasal dari Kepulauan Riau, fasih berbahasa mandarin dan masih memakai bahasa Indonesia baku dengan aksen mandarinnya di dalam percakapan sehari-hari. Nemo dan Asni yang berasal dari negeri Jiran, memiliki aksen bahasa melayu yang khas. Apabila mereka berdua berbincang, kami kurang bisa paham pembicaraan mereka. Timbul rasa penasaran dan timbul pula rasa ingin tahu sehingga kami semua ingin saling belajar bahasa setiap daerah (dan negara). Ada Ciha dan Sahat yang memiliki marga yang termashur di Medan. Sahat sudah lama menetap di Cimahi, sehingga dia masih bisa menggunakan bahasa Sunda walau agak kasar, sedangkan Ciha memiliki kosakata Sunda yang sangat minim, Ciha mengenal Sunda setelah dia menetap di Jatinangor. Otomatis bahasa Sunda yang dipelajarinya terpengaruh oleh kegaulan para mahasiswa Unpad yang berdomisili di Jatinangor juga, alias Sunda Prokem. Ada pula Icha c’bows yang berasal dari Cilegon, C’bows adalah tipe pengguna bahasa Sunda pasif. Dia paham ketika orang-orang berbicara menggunakan bahasa Sunda, namun kurang bisa berbahasa Sunda. Terakhir ada Thorry yang berasal dari Manado, namun tinggal lama di Tangerang. Saya mengetahui sedikit bahwa SD dan SMP di Depok dan Tangerang ada pembelajaran tentang bahasa Sunda. Thorry lebih tampak seperti anak gaul tangerang yang menggunakan ‘gue-elo’ dalam percakapan sehari-hari daripada anak gaul Manado. Walaupun orang-orang yang saya sebutkan diatas kurang mampu berbahasa Sunda, bukan berarti mereka tersisihkan dan memilih menjadi pendiam. Kami semua mencoba untuk berbaur bersama dan saling belajar selama masa KKNM dan mudah-mudahan berlanjut hingga kami tiba kembali di Jatinangor bahkan hingga waktu yang tak terbatas.

Pukul 10.00 kami kembali ke rumah. Setelah beristirahat dan makan, Pak Cucu pamit untuk pergi ke desa Padawaras. Pak Cucu berangkat, Kami mengadakan rapat lanjutan yang terbilang singkat dan tidak terlalu resmi seperti rapat malam kemarin. Rapat singkat tersebut hanya membahas dan menunjuk Penanggungjawab (PJ) tiap bidang yang sudah dibahas semalam. Dari bidang pendidikan, ada tiga calon PJ yang diusulkan. Mereka adalah saya, Taufik dan Badi yang dipilih karena basic kami berasal dari Fakultas Sastra. Para anggota menunjuk saya sebagai PJ, dan Ryan sebagai kordes berkata bahwa pilihannya pun berat ke saya. Agak ambigu sebenarnya perkataan Ryan itu, tapi setelah dipertimbangkan dan dipikirkan secara mendalam, saya bersedia mengemban tanggung jawab lainnya, selain sebagai bendahara yaitu PJ Pendidikan. Disusul oleh Henly yang berasal dari Fakultas Pertanian sebagai PJ Pertanian, Nadya dari Fakultas Kedokteran sebagai PJ Kesehatan, dan Anggra dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang memiliki suara bagus dan pandai bernyanyi sebagai PJ Seni dan Budaya.

Dalam rapat singkat pemilihan PJ, disinggung pula mengenai survey ke empat dusun di Desa Kertasari. Kami dibagi menjadi empat kelompok, pukul 14.00 setelah beres shalat jumat dan beres-beres, kami bersiap berangkat dengan kelompok masing-masing. Saya satu kelompok dengan Nemo, Ira, Ruddy, Sahat, dan Henly melakukan survey di dusun Leuwipicung. Rumah yang kami tempati pada saat itu berada dalam lingkup dusun Leuwipicung, jadi kami tidak ikut naik pick up bersama tiga kelompok lainnya. Awalnya kami pikir ruang lingkup Dusun Leuwipicung hanya daerah tempat tinggal kami hingga ke rumah pak Kuwu, namun ternyata itu hanya 20% bagian dari keseluruhan dusun. Ada lebih dari enam RT di dusun itu, perjalanan ke tiap rumah ketua RT sangat menguras tenaga, ditambah jalanan yang kami lalui cukup terjal. Kami mewawancarai warga berdasarkan bidang yang sudah ditentukan untuk menentukan kegiatan apa saja yang akan kami lakukan nantinya. Karena kelelahan, mood saya benar-benar buruk pada saat itu. Sampai pulang dan rapat evaluasi pun, saya lebih memilih diam dan menjawab seadanya apabila ditanya. Kami beristirahat untuk mengumpulkan kembali tenaga yang sudah banyak terkuras di hari itu.

Hari ketiga (03/07) tidak ada jadwal kunjungan atau kegiatan apapun. Kami memilih untuk mengakrabkan diri dengan rumah yang kami tempati. Seharian kami tidak kemana-mana. Cucu memecahkan kesunyian di dalam rumah dengan permainan ramalan kartunya. Semua anak mencoba ketepatan ramalan Cucu. Disambung oleh ramalan kartu versi Anggra. Tiap anggota ikut berpartisipasi diramal oleh Anggra. Ini hanya permainan, untuk bersenang-senang. Jadi saya tidak begitu mempermasalahkan ketepatan ramalan dari Cucu maupun Anggra. Selain itu, Mei sebagai sekretaris membuat jadwal piket di rumah. Jadi semua anggota bisa kerja semua, tidak dibebankan pada orang-orang tertentu saja. Saya kebagian piket hari Rabu dan Sabtu bersama Ryan, Asep, Thorry, Cucu dan C’bows.

Menjelang petang, Asep sudah bersiap pergi ke Mushola untuk mengajar anak-anak mengaji. Asep adalah anggota yang memiliki inisiatif tinggi. Sejak pertama kita tiba di Kertasari, dia sudah rajin mengunjungi mesjid dan madrasah yang ada disana dan membantu ustad mengajar anak-anak mengaji. Awalnya saya senang dengan inisiatif yang dia miliki, karena kegiatan mengajar di mesjid dan Mushola masuk ke dalam program pendidikan pula. Ada pula sedikit rasa gereget saya terhadap Asep karena dia kurang berkoordinasi dengan saya dan anggota lainnya mengenai kegiatan apa saja yang akan dilakukan, kapan saja kegiatan berlangsung, dimana saja dia melangsungkan kegiatan, dan sebagainya. Asep dengan mudahnya menjawab ‘ya’ ajakan dari ustad-ustad di tiap mesjid untuk mengajarkan mengaji tanpa melihat kapasitas dan kemauan para anggota lainnya. Pada akhirnya saya memutuskan untuk memusatkan kegiatan mengajar mengaji di satu mushola dekat rumah saja. Yang lainnya, biarkan Asep saja yang mengatur sendiri dengan para ustad.

Hari keempat (04/07) rumah kami kedatangan tamu tepatnya pukul 08.10. Tamu-tamu kecil datang bergerombol diiringi tawa riang yang membuat kami semakin gemas melihat mereka semua. Anak-anak sekitar dusun Leuwipicung datang ke rumah untuk belajar sambil bermain. Cukup lama kami berinteraksi dengan anak-anak. Belajar, bernyanyi, berjoged, becanda, games, dan masih banyak lagi kesenangan lainnya di hari itu. Siangnya, atas usulan pak Kuwu, kami pergi ke Pantai Cipatujah. Kami pergi naik Pick up atau kolbak andalan yang dikendarai oleh pak Acon. Menurut pandangan saya –yang juga termasuk anak pantai- pantai Cipatujah kurang begitu menarik, kurang bersih, dan sayangnya lagi berpasir tidak putih. Disana, saya kurang tertarik bermain air atau ikut berfoto. Saya memanfaatkan sinyal yang ada dengan menelpon orangtua dan teman. Di pinggir pantai, kami membeli ikan laut untuk disantap nanti malam. Mumpung pergi keluar desa, kami menyempatkan belanja hadiah untuk acara Rajaban yang diusung oleh Anggra sebagai PJ Seni dan Budaya, juga belanja konsumsi untuk dua hari kedepan. Sebelum pulang, Ira sangat ingin makan bakso, diamini oleh yang lainnya. Saya dan Henly yang duduk di depan bersama pak Acon pun mencari Bakso yang enak di sepanjang perjalanan. Setelah puas jalan-jalan, kami pulang dan mempersiapkan hidangan makan malam spesial, ikan bakar.

Di pagi hari berikutnya (05/05) piket sudah mulai berjalan. Beres makan, kami sudah bersiap untuk melaksanakan lokakarya bersama perangkat desa dan para warga. Cukup banyak warga yang datang ke balai desa pada saat itu. Dalam lokakarya dan sosialisasi tersebut, kami menjelaskan berbagai macam program dan kegiatan yang akan kami lakukan di Desa Kertasari kepada warga, dan meminta ijin, persetujuan serta bantuan para warga untuk keberlangsungan program kami. Di divisi pendidikan sendiri, Tim merencanakan lima kegiatan, diantaranya pendidikan formal (mengajar di SD Leuwipicung), Pendidikan keagamaan (mengajar di madrasah), Pendidikan nonformal (les dan pendidikan Anak Usia Dini), dan pendidikan umum (pembelajaran berbahasa Indonesia bagi para warga). Pak Sekdes menghampiri saya dan mengusulkan agar kami tidak hanya mengajar SD saja. Di Leuwipicung juga ada sebuah SMP yang baru didirikan dan membutuhkan tenaga pengajar. Saya pun menampung usulan pak Sekdes untuk dibicarakan kembali bersama tim pendidikan.
Selesai Lokakarya, kami kembali ke rumah untuk beristirahat, sebagian anggota mematangkan kembali konsep program yang akan dibuat.

Tim pendidikan mulai melaksanakan kegiatan. Sore harinya, diadakan pendidikan terbuka bagi anak-anak SD kelas 4-6 dan ada pula pendidikan umum untuk warga 15 tahun keatas yang ingin belajar bahasa Indonesia lebih dalam di balai desa. Pendidikan terbuka perdana sukses dijalankan, berbanding terbalik dengan pendidikan umum. Tidak ada seorangpun warga yang datang ke balai desa. Tidak mengapa, masih ada besok, hari terakhir untuk pendidikan umum.

Beberapa paragraf di dalam tulisan ini membahas tentang program pendidikan di desa Kertasari, bukan karena saya adalah PJ pendidikan, namun belum muncul saja bidang yang lainnya. Nanti pasti akan saya bahas sedikit-sedikit yang saya tahu tentang bidang Pertanian, Kesehatan serta Seni dan Budaya. Kembali ke Pendidikan, keesokan hari di pagi yang cerah (06/06), mengikuti usulan pak Sekdes ketika lokakarya pada hari Senin, beberapa tim pendidikan pergi untuk melakukan survey ke SMP Satu Atap 5 Cipatujah yang berada di dusun Leuwipicung. Berhubung kami datang ke Desa Kertasari bertepatan dengan liburan sekolah, maka pendidikan formal baru bisa dilaksanakan pada tanggal 12 Juli 2010 ketika para siswa sudah masuk sekolah lagi. Di SMP, kami banyak bertanya kepada satu-satunya staf yang ada di kantor. Lalu kami pun meminta ijin kepada kepala SMP untuk ikut mengajar di sekolah tersebut. Niat kami disambut baik, dengan tangan terbuka, pihak SMP mengabulkan permintaan kami.

Sisa hari itu kami lewatkan dengan melakukan survey ke dusun Sirnagalih. Dusun ini adalah dusun terjauh dibandingkan kedua dusun lainnya selain Leuwipicung. Di Sirnagalih, kami disambut di rumah pak RW yang selanjutnya disebut pak Punduh. Alangkah senangnya anggota yang kebagian piket di hari itu, mereka tidak usah repot masak dan mencuci piring, kami disuguhi berbagai macam makanan ringan dan dilengkapi dengan suguhan makan siang yang sangat spesial. Sebelum makan, sebagian dari kami pergi ke Masjid untuk melakukan sembahyang dzuhur. Pemandangan disekitar masjid sungguh menenangkan hati dan pikiran. Saya sungguh betah lama-lama duduk di masjid sambil melihat sekitar. Pak Punduh sangat senang menerima kedatangan kami, para mahasiswa berpokiran polos, namun dikarenakan pukul 16.00 ada kegiatan pendidikan terbuka, kami berpamitan kepada pak Punduh dan keluarga.

Setibanya di rumah, tim PJ pendidikan umum bersiap menuju balai desa, dan tim PJ Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pun bersiap menyambut anak-anak yang datang ke rumah untuk belajar sambil bermain. Kembali disayangkan, antusiasme para pemuda dan orangtua di dusun Leuwipicung untuk mencari ilmu, kalah mutlah oleh antusiasme bocah-bocah kecil nan menggemaskan. PAUD berjalan lancar, sedangkan tim pendidikan umum pulang dengan raut kekecewaan.

To be continued (Insya Allah)

Saya juga pernah (dan sering) Galau

Kata takdir mungkin terlalu umum untuk melukiskan apa yang sedang berlangsung selama beberapa hari belakangan ini. Saya pun tidak bisa menggunakan kata karma dikarenakan tidak adanya peristiwa yang pernah saya timpakan di waktu lampau. Sayangnya, saya tidak mempunyai kata-kata yang lebih tepat untuk mendeskripsikan suasana yang bersifat rutin dan berkelanjutan.
Kebosanan selalu hadir bersamaan dengan penyesalan, namun apa yang harus disesalkan sangatlah bersifat abstrak. Saya tidak tahu apa itu.
Selalu berpikir positif, selalu berusaha untuk sabar dan ikhlas, dan selalu menunggu.
Mungkin benar bahwa tidak ada gunanya untuk terus menyampaikan cerita duka yang sama secara berulang, yang ada hanya penyesalan dan rasa sakit yang tak berujung.
Berada di daerah asing tidak melulu dapat membuat segalanya berubah. Masih ada beberapa unsur yang akan selalu terbawa kemanapun kita beranjak. Pembawaan individu menentukan segalanya, apakah individu tersebut ingin memiliki hidup yang konstan, ataukah dia menginginkan perubahan-perubahan signifikan.
Berbagai hal berusaha saya amati secermat mungkin. Seperti halnya seorang psikolog yang bertanya secara terperinci kepada pasiennya untuk menemukan dan mengatasi suatu permasalahan yang dialami oleh pasien tersebut.

NOTE : saya tidak tahu kenapa dan kapan saya menulis tulisan ini. Mungkin tulisan diatas adalah wujud konkrit kegalauan yang pernah saya rasakan, entah kapan.

Jumat, 13 Agustus 2010

Solid, Olrait, Sombong KKNM Kertasari 2010 (Part 1)

Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa mewajibkan setiap orang yang menganggap diri mereka mahasiswa untuk tinggal di suatu wilayah (biasanya wilayah terpencil) selama waktu yang telah ditentukan oleh para petinggi kampus. Di dalam catatan pribadi ini, saya akan menceritakan pengalaman tersebut berdasarkan sudut pandang saya sebagai seseorang yang menulis catatan berdasarkan pengalaman yang tentu saja saya alami sendiri.

Ketika petinggi kampus mengumumkan bahwa KKNM Integratif gelombang II periode 2010/2011, saya masih bersantai dan tidak terlalu menganggap serius hal itu. Pikiran saya sepenuhnya masih terpusat kepada tugas-tugas akhir semester 6 yang dengan sangat baik hati diberikan oleh para pengajar di kampus menjelang akhir pembelajaran. Saya pun kurang antusias mengikuti kegiatan KKNM dikarenakan 70% mahasiswa satu angkatan dan satu jurusan dengan saya sudah mengikuti KKNM pada gelombang I, hanya tersisa 7 orang di kelas yang belum berpartisipasi; dan 3 dari 7 orang tersebut tidak akan mengikuti KKNM gelombang II. Mungkin kelas lain masih bersisa banyak, namun suasana kebersamaannya akan berbeda (apabila dibandingkan bersama-sama dengan teman sekelas) walau sedekat apapun kami di kampus. Setelah semua dirasa beres, saya mulai sedikit peduli akan kelangsungan eksistensi saya sebagai mahasiswa, selain urusan akademik, mau tidak mau saya pun harus melirik urusan lainnya yang masih berhubungan dengan kampus, KKNM. Kebetulan saya sedang berada di rumah ketika akan mendaftarkan diri. Tersiar kabar bahwa desa tempat saya lahir pun dipilih petinggi kampus menjadi salah satu lokasi KKNM, (entah apakah saya harus bangga atau prihatin). Ketika saya berkonsultasi kepada kedua orangtua, mereka menyarankan saya untuk mengikuti kegiatan KKNM di Pameungpeuk, desa tempat saya lahir. Selain mudah untuk mengontrol perkembangan anaknya, mereka juga berpikir mengenai efisiensi dan fleksibilitas saya yang sudah hampir sepenuhnya mengetahui daerah Pameungpeuk. Keputusan saya sudah bulat untuk memilih daerah Pameungpeuk sebagai tempat KKNM. Sayangnya, ketika saya sudah mulai melihat-lihat laman kampus dan mencoba untuk mendaftar, saya tidak dapat menemukan desa Pameungpeuk di dalam pilihan. Pikiran mulai sedikit kalut, sekarang sepenuhnya saya pasrah. Saya mulai mencari alternatif pilihan yang memiliki efisiensi dan fleksibilitas mendekati keefisienan desa Pameungpeuk.

Daerah Cipatujah pada saat itu menjadi pusat perhatian saya. Beberapa tahun terakhir, untungnya pemerintah telah membuat proyek Jalur Lintas Selatan yang membuat Pameungpeuk bisa terhubung lebih mudah dengan daerah Tasikmalaya dan sekitarnya, termasuk Cipatujah. Tidak seperti dulu yang membutuhkan waktu sangat lama untuk pergi ke daerah Tasikmalaya, sekarang warga Pameungpeuk bisa lebih cepat sampai di daerah tujuan mereka di wilayah Tasikmalaya. Salah satu bukti efisiensi, kan? Hanya tersisa dua desa di kecamatan Cipatujah, Kertasari dan Padawaras. Dengan bermodalkan pasrah karena saya sama sekali tidak mengenal kedua desa tersebut, saya mengucapkan asma tuhan, menutup mata dan mulai memilih secara acak kedua desa tersebut. Beberapa detik kemudian, terpilihlah desa Kertasari sebagai tujuan kegiatan KKNM saya. Selepas itu, laman kampus memperlihatkan para anggota mahasiswa yang sama-sama memilih desa Kertasari sebagai tujuan mereka. Saya bersyukur, ketika melihat salah satu anggota KKNM desa Kertasari merupakan teman dekat saya, dia adalah Bunga. Saya tidak terlalu sendirian. Dari daftar tersebut, saya baru menyadari bahwa saya adalah anggota terakhir yang bergabung bersama mereka. Penasaran akan rupa mereka masing-masing, saya coba memeriksa mereka satu persatu menggunakan mesin pencari di jejaring sosial Facebook. Sedikit tidak puas, saya coba melihat identitas mereka di laman kampus dengan bermodalkan nomor mahasiswa mereka sebagai kata kunci untuk masuk ke masing-masing laman. Setelah melihat beberapa wajah baru yang saya dapatkan secara curang, beberapa doa saya panjatkan demi kelangsungan hidup selama satu bulan bersama orang-orang asing dan di tempat yang asing pula.

Beberapa hari setelah pendaftaran yang saya lakukan, saya mendapatkan pesan singkat berupa jarkom dari nomor yang tidak dikenal. Dia memperkenalkan diri sebagai salah satu anggota KKNM di desa Kertasari bernama Sahat. Sahat merencanakan untuk membuat acara kumpul bersama para anggota KKNM desa Kertasari. Singkat cerita, akhirnya kita memutuskan untuk mengadakan kumpul pertama di sebuah café yang mempunyai nama di wilayah Jatinangor, Che.Co.
Perasaan yang ada dalam diri saya sedikit banyak tidak karuan. Saya merasa takut, senang dan masih banyak perasaan lain, saya tidak tahu apa. Mungkin itu adalah perasaan yang wajar dirasakan setiap orang apabila akan bertemu pertama kali dengan orang yang tidak pernah kita kenal sebelumnya. Saya sudah bersiap-siap 5 jam sebelum perkumpulan, terlalu berlebihan tapi itulah adanya. Kemudian saya menghubungi Bunga –satu-satunya orang yang saya kenal diantara ke 18 orang lainnya- untuk mengajaknya pergi bersama ke Che.Co agar saya tidak terlalu sendiri menghadapi orang-orang baru tersebut. Tetapi dikarenakan beberapa kendala, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu di tempat pertemuan.

Di Che.co, tepatnya di luar Che.Co saya menunggu Bunga cukup lama. Bosan dan penasaran melihat banyak orang keluar masuk café tersebut, saya mengambil keputusan untuk masuk sendirian. Saya hubungi Sahat untuk memastikan tempat duduk yang sudah dipesankan. Untuk pertama kalinya, saya melihat sosok Sahat. Dialah anggota KKNM Kertasari ynag pertama saya lihat di kumpulan tersebut. Selanjutnya saya melihat sudah cukup banyak orang disana. Orang pertama yang mengajak saya berkenalan adalah Moh. Hafidz yang memperkenalkan namanya sebagai Nemo. Kemudian saya pun berkenalan dengan Nadya, Asni, Hellen, Ira, dan Nisa. Bunga baru tiba bersama Cucu beberapa menit setelah saya duduk dan mulai mengakrabkan diri, disusul oleh kedatangan Badi dan Opik. Mereka duduk dekat dengan saya, dan saya pun berkenalan pula dengan mereka. Sisa anggota lainnya duduk cukup jauh, saya kenal secara sepintas ketika Sahat memimpin semua untuk memperkenalkan diri satu persatu. Suasana kumpul pertama kami tidak terlalu kaku. Untungnya dua orang anggota yang sefakultas dengan saya yaitu Badi dan Opik dapat menjadi pemecah es yang baik. Mereka dapat membuat suasana menjadi sedikit lebih santai dan nyaman. Dari kumpulan itu, kami langsung ke acara inti yaitu pemilihan Koordinator Desa yang selanjutnya disingkat Kordes. Calon kordes yang menjadi pilihan kami adalah Sahat. Namun sahat bilang bahwa dia hanya jadi penghubung. Yang mengusulkan kumpul perdana ini adalah Cucu. Perbincangan jadi sedikit alot, hingga pada akhirnya terungkaplah siapa yang menjadi penggagas awal terjadinya jarkom dan kumpulan, orang tersebut adalah Ryan. Dia yang dihubungi oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan dari sana, kami sepakat bahwa kordes kami adalah Ryan Harlan.

Kami pun membuka obrolan-obrolan selanjutnya yaitu rencana survey tempat KKN, teknis pemberangkatan, iuran anggota, dsb. Setelah cukup banyak berbincang, setelah habis semua minuman, kami memutuskan untuk mengakhiri kumpulan. Ketika hendak membayar, ada kejutan kecil yang kami terima. Asni membayar seluruh makanan yang kami pesan! Kami tidak menyangka mendapatkan berkah di kumpulan pertama, ketika kami ingin mengucapkan terimakasih, Asni sudah pergi tanpa pamit. Sungguh baik sekali, sekaligus misterius. 

Beberapa hari setelah kumpul perdana, saya mendapat jarkom mengenai keputusan survey. Kami melakukan survey bersama DPL dan survey tersebut akan dilakukan bersama dengan anggota KKNM di desa Padawaras karena kedua desa tersebut dipegang oleh DPL yang sama. Hanya empat orang dari kelompok kami yang akan pergi survey, yaitu Badi sebagai pengemudi, Cucu, Sahat dan Nemo, di tambah Pak Cucu sebagai bapak DPL, dan sisanya adalah dari kelompok KKNM Padawaras. Mereka pun memutuskan untuk memungut iuran sebesar Rp.30.000/kepala yang harus dikumpulkan ke Badi. Setelah membaca jarkom tersebut, saya langsung menghubungi Badi untuk merencanakan transaksi. Saya dan Badi sepakat untuk bertemu di gerbang Unpad. Kebetulan hari pertemuan adalah hari Jumat, kami memutuskan bertemu setelah Badi shalat jumat dan sebelum saya melaksanakan UAS Grammar. Saya pergi bersama Beaper ke tempat yang telah ditentukan. Sedikit salah paham mengenai lokasi pertemuan membuat saya dan Badi seperti bermain Hide and Seek, dan karena takut terlambat mengikuti UAS, saya dan Beaper pergi ke kampus lewat jalur gerbang belakang. Saya berhenti di gerbang lama dan finally saya dan Badi bisa bertemu dan melakukan transaksi.

Cerita berlanjut ketika suatu waktu saya mendapatkan Jarkom tentang pembekalan KKNM di Fakultas Peternakan. Pembekalan diselenggarakan oleh petinggi kampus sebagai modal awal bagi para mahasiswa tentang apa yang akan dan harus mereka lakukan di tempat KKNM nantinya. Mereka (petinggi kampus) pun memberikan semacam materi yang harus kami pelajari karena dalam pembekalan nanti akan ada tiga ujian yang mana jawabannya terdapat pada materi tersebut. Saya tidak tertarik sama sekali untuk melirik lembaran kata-kata klise membosankan yang entah untuk apa mereka membuat bahan tersebut. Mungkin mereka masih khawatir dan belum ingin mahasiswanya memiliki sifat mandiri. Kembali ke topik awal, pembekalan ini secara tidak langsung adalah pertemuan kedua saya bersama teman-teman KKNM Kertasari. Dan perasaan aneh itu datang lagi. Faktor lain yang mungkin menyebabkan perasaan itu timbul adalah karena saya adalah satu-satunya perwakilan dari Sastra Inggris. Sendirian, tidak ada teman sejurusan. Untungnya saya dan Winnie mendapatkan DPL yang sama. Winnie –teman kostan saya- mendapat tempat KKNM di Padawaras, jadi kami bisa pergi bersama ke Fakultas Peternakan, saya merasa lebih tenang. Setibanya disana dan berkumpul dengan kelompok, saya masih merasakan ada kesenjangan. Mereka masih berkumpul perfakultas. Saya semakin sendiri karena Winnie sudah pergi berkumpul dengan kelompoknya. Saya terus mencoba untuk bergabung dengan siapa saja yang mengajak. Cupu memang, tapi apa salahnya?
Selama pembekalan, saya terhibur oleh tingkah laku kelompok saya. Sebagai informasi, dalam satu kelas, terdapat dua kelompok KKNM. Dari kedua kelompok tersebut, sangat kentara terlihat bahwa kekompakan kelompok kami sudah mulai tumbuh. Mungkin hanya Asni saja yang belum bergabung dengan kami di kelas itu. Asni masih duduk bersama teman-teman serumpunnya di barisan yang berbeda. Ketiga pemateri memberikan bahan dan materi, kemudian ujian, materi, mengantuk, ujian, istirahat, materi, tidur, ujian dan selesai.

Pembekalan KKNM selesai dengan hasil yang cukup memuaskan. Kami berkumpul kembali dan mengadakan (bisa dibilang) rapat. Dalam kumpulan tersebut Ryan sebagai kordes mulai melaksanakan tugasnya. Ryan membuat struktur kepemimpinan secara resmi di hari itu. Mei terpilih sebagai sekretaris, saya menjadi bendahara, Cucu sebagai koordinator acara, Opik sebagai koordinator logistik, Sahat sebagai Humas Internal, Nadya sebagai Humas eksternal, Nemo sebagai Koordinator Konsumsi, dan Hellen sebagai Koordinator publikasi dan dokumentasi. Kesebelas anggota lainnya memiliki tugas yang lebih berat dari koordinator, yaitu membantu koordinator yang bersangkutan.
Selain pembekalan oleh Universitas, kami pun diharuskan datang ke pembekalan yang diberikan oleh DPL. Saya tidak akan menceritakan secara detail karena pembekalan tersebut hampir sama dengan pembekalan sebelumnya, hanya saja DPL lebih baik dari pemateri saat pembekalan Universitas, tidak memberikan ujian.

Selesai pembekalan oleh DPL, kelompok kami kumpul kembali dan membuat rencana-rencana mengenai apa yang harus kami bawa (dipimpin oleh logistik), berapa iuran yang harus dikeluarkan tiap kepala (dipimpin kordes), dan hal-hal terkait yang dipimpin oleh divisi lainnya. Mengenai iuran, kami sepakat untuk mengeluarkan biaya sebesar Rp.400.000/kepala yang dikumpulkan pada bendahara (saya sendiri). Masih ada beberapa hari tersisa sebelum keberangkatan. Saya memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke Pameungpeuk. Kebetulan sudah hampir satu bulan saya tidak bertemu dengan rumah serta orangtua, sekaligus saya meminta ijin dan restu dari mereka (mamah, bapak, dan tentunya rumah). Selama tinggal di rumah, saya mendapat banyak pesan singkat dari teman-teman baru saya di KKNM nantinya. Kebanyakan dari mereka melaporkan bahwa uang iuran sudah mereka kirimkan ke rekening saya. Ada pula Opik yang memberitahu bahwa logistik akan mulai belanja barang-barang yang diperlukan selama disana. Kebetulan kas Bendahara sudah terisi oleh sisa uang survey, maka saya mengusahakan untuk memberikan uang tersebut dengan cara transfer. Disayangkan, beberapa waktu sebelum Opik menghubungi saya, daerah Pameungpeuk digoncang oleh gempa yang cukup terasa. Akibatnya saya tidak dapat mengirimkan uang tersebut ke Opik. Seperti kesan awal saya kepadanya, dia sangat ramah dan mencoba untuk menghilangkan kekakuan antar anggota KKNM Kertasari, pesan singkat yang diberikannya melenyapkan rasa bersalah karena tidak dapat mengirimkan uang sekaligus kesendirian saya sebagai satu-satunya Sastra Inggris di kelompok tersebut. Setidaknya masih ada dua teman di satu fakultas yang sama dengan saya, Opik dan Badi yang keduanya adalah mahasiswa Sastra Perancis.

H-1 saya sudah kembali ke Jatinangor. Besok saya akan berangkat ke Desa Kertasari bersama anggota lainnya. Sesampainya di jatinangor, saya dihubungi oleh teman karib saya di Sastra Inggris, Denny. Denny mengajak saya untuk mengawasi latihan panitia Pendamping Kelompok (PK) Pengenalan Fakultas Sastra (PFS) bersama para alumni PK lainnya. Ajakan itu sangat membuat saya tergoda, dengan semangat tinggi, saya dan Beaper pergi ke Kampus Biru tanpa memikirkan apa saja yang harus saya bawa sebagai bekal selama sebulan tinggal di Kertasari. Ya, saya belum packing. Tim SC (Steering Committee) PK melatih para calon PK. Saya menikmati kebersamaan bersama mereka. Kalau saja saya tidak mengikuti KKNM gelombang II ini, dipastikan saya akan menjadi SC tetap PK, tidak seperti sekarang yang hanya menjadi SC bayangan. Pukul 18.00 WIB Saya pamit kepada mereka di tengah latihan karena masih ada tanggung jawab yang menunggu saya di kostan, packing.

Peserta KKNM wajib berkumpul di kampus pukul enam pagi. Saya tidak dapat beristirahat walau sejenak meskipun semua barang sudah beres dimasukkan kedalam koper. Seperti biasa, perasaan itu timbul lagi, malah semakin kuat. Hingga pukul tiga, mata masih belum bisa terpejam. Berbagai doa dan ayat-ayat Quran saya ujarkan, dan akhirnya saya tertidur pulas selama 1 jam.
Pukul 4 saya bersiap-siap, mandi dan merapikan diri. Saya berangkat ke kampus dengan satu kantong plastik besar berisi makanan ringan, satu koper, dan satu ransel. saya berangkat bersama dengan Winnie dan Ulfa. Kami bertiga susah payah mencari bus dengan nomor yang sudah ditentukan berdasarkan desa tujuan. Saya dan Winnie mendapatkan bus yang sama, bus itu sayangnya diparkirkan di paling ujung jalan. Dengan perjuangan yang berarti, kami pun sampai di bus nomor 69 tujuan Padawaras dan kertasari.
Seperti kebiasaan lazimnya masyarakat Indonesia, dari rencana pemberangkatan (pukul 06.00 WIB), kami berangkat pukul 08.11 WIB.

To be continued. . .(Insya Allah).

Minggu, 08 Agustus 2010

Ketika Aisyah Melirik Abraham (Karya ketiga Widinupus)

Aku bertemu dia secara tak terencana,
kuperhatikan dia masih dengan tatapan biasa,
wajah alim dengan dandanan seadanya,
dia hanya diam dan tak banyak berkata,
Itulah mengapa tatapanku masih biasa terhadapnya;
Tiada yang dapat menyangka kami diharuskan
bersama dalam sebuah rumah,
rentang waktu yang cukup lama membuat dia sedikit berubah,
semakin hari dia membuatku semakin terpesona,
ujaran spontan dan tingkah laku lucu tanpa rekayasa,
mengalihkan pandanganku yang sekarang hanya terpusat padanya,
aku mengumpat,
payah! Mungkinkah aku sudah jatuh hati pada seorang hamba yang memiliki cara menyembah tuhan dengan berbeda?
Kembali kuyakinkan rasa ini,
aku tak mampu berpikir lirih,
tidak ada perasaan yang berbisik aku salah pilih,
tiada pula hasratku tuk ingin meraih,
dia yang berjiwa gigih;
Seorang Abraham yang taat,
Hamba dengan pendirian kuat,
sangat berbeda dengan Aisyah yang lemah,
tak mampu tuk menang,
hanya bisa terus mengalah. Camkan, bukan kalah!
Ingin aku mencoba mendekat,
tidak tersirat maupun tersurat sedikitpun tentang dosa,
hati sudah terlanjur terpikat,
terlintas keinginan jiwa untuk bisa memiliki dia.
Seribu kemalangan menerpa Aisyah,
Abraham tak peka terhadap hawa itu,
tidak ada perubahan semenjak pisah,
sang Abraham terpikat oleh perempuan kemayu,
namun bukan Aisyah.
Aisyah mulai membuka mata,
menyadari semua hanya fatamorgana yang menghantarkan dosa,
Hawa itu kini hanya bisa menunggu kembali,
bukan Abraham yang diharapkan,
melaikan Ibrahim, kekasih sejati.

Jumat, 25 Juni 2010

Jumat Berkat, Berkat Jumat

Pagi yang sangat berat untuk membuka mata. Pukul 06.27, saya terlambat 27 menit dari jadwal yang sudah ditetapkan dan tentu saja dari jadwal kewajiban saya terhadap agama yang saya yakini. Hari Jumat bercuaca mendung seperti sekarang, saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman saya di Pameungpeuk, salah satu desa di kabupaten Garut. Pameungpeuk merupakan daerah yang jarang orang lain mengetahui keberadaannya. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai disana apabila kita mengambil awal dari daerah Garut kota adalah sekitar tiga jam. Itu pun jika kita menggunakan kendaraan pribadi; Apabila kita memakai kendaraan umum seperti mini bus, maka waktu yang dibutuhkan akan sedikit lebih lama.
Sekarang saya berdomisili di daerah Jatinangor. Dari tempat saya bermukim sekarang menuju daerah Garut kota, itu membutuhkan waktu sekitar satu jam tiga puluh menit. Saya lebih senang menggunakan kendaraan umum apabila saya pulang ke Pameungpeuk, maka apabila diakumulasikan, waktu keseluruhan yang saya habiskan diperjalanan adalah sekitar lima jam.

Setelah sedikit dipaksakan, saya pun beranjak dari tempat empuk yang biasa menjadi tempat bermanja setiap malam. Saya memperhatikan kondisi kaki kiri yang sebagian permukaannya tetutup koyo. Teringat hari kamis ketika saya berkumpul dengan teman-teman KKN daerah Cipatujah desa Kertasari, kondisi saya kurang baik pada saat itu. Kepala yang dari paginya terasa berat dan pusing membuat keseimbangan tubuh saya berkurang yang akhirnya saya terjatuh dihadapan teman-teman KKN serta mengakibatkan kaki kanan sedikit lecet dan kaki kiri terkilir dan benjol. Hasilnya, sekarang saya terpincang-pincang menahan sakit.

Hari ini pun saya memutuskan untuk menggunakan kendaraan umum untuk pulang. Selain melatih kesabaran dan kemandirian, setiap menit perjalanan yang saya lakukan menuju rumah selalu saya nantikan. Tidak sedikit pengalaman baru yang saya dapatkan dari perjalanan tersebut. Saya pun secara tidak langsung dapat mempelajari watak setiap orang baru yang saya temui di perjalanan. Pelajaran baru yang saya dapatkan di kelas tidak dapat seluruhnya saya tangkap, namun, apabila saya mempelajari hal tersebut melalui aplikasi di dunia nyata, saya akan dengan cepat memahaminya. Seperti halnya pelajaran-pelajaran baru yang selalu saya dapatkan di perjalanan pulang menggunakan kendaraan umum.

Setelah merapikan semua barang-barang yang harus dibawa dan yang semestinya dirapikan, saya berjalan sedikit pincang menuju tempat pemberhentian angkot pertama. Tampak seorang mahasiswa berpakaian islami yang berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Dari pakaian yang agak berantakan dan kertas-kertas ditangannya, mungkin dia terlambat mengikuti kuis ataupun ujian yang diselenggarakan di kampusnya. Rasa syukur saya panjatkan karena hari ini saya sudah terbebas dari kuis ataupun ujian, akan tetapi penyesalan berikutnya datang karena pagi tadi saya melewatkan sembahyang subuh.
Angkot pertama mengantarkan saya ke angkot kedua, dan dari angkot kedua, saya melanjutkan perjalanan menggunakan bus. Perjalanan satu jam setengah di dalam bus biasanya saya gunakan untuk tidur. Tidak ada interaksi yang menonjol antara penumpang satu dengan penumpang lainnya, karena itu saya merasa bosan memerhatikan keadaan sekitar. Sedikit berbeda dari pengalaman-pengalaman yang lampau, saya mendapatkan pembelajaran dari sang kondektur yang menarik ongkos dari tiap penumpang. Biasanya, saya membayar tarif bus tersebut seharga 5000-7000 setiap saya pergi ke Garut kota; ketika saya memberikan tarif biasa kepada kondektur yang masih muda dan berbadan kecil, dia memberikan kembalian 2000 kepada saya. Baru saya ketahui kalau perjalanan ke Garut kota bisa dengan 3000 rupiah saja (mungkin kita sebagai penumpang juga harus melihat perawakan dari kondektur. Kalau kondekturnya sudah berpengalaman, mungkin mereka akan meminta tarif lebih).

Di terminal Garut tempat pemberhentian akhir bus, saya turun. Dari sana saya menggunakan angkot ketiga menuju daerah Antares. Saya biasa menunggu bus mini di daerah tersebut. Ketika saya turun dari angkot ketiga, tidak lama kemudian bus mini menuju pameungpeuk (tepatnya jurusan Cimari dan/ Cikelet) tiba menjemput. Tanpa banyak bicara, saya naik dan duduk di bangku belakang supir. Di barisan bangku itu, hanya ada saya yang duduk. Perjalanan yang sebenarnya dimulai.

Jumlah penumpang di dalam bus mini yang saya gunakan terbilang sedikit namun memenuhi kuota untuk mulai berangkat, jadi supir tidak usah repot untuk memutari daerah Merdeka beberapa kali untuk mencari penumpang. Biasanya penumpang akan datang sendiri di sepanjang jalan. Yang menjadi objek pandang saya adalah seorang ibu yang duduk disamping supir. Raut wajahnya menunjukkan bahwa beliau sudah berumur lebih dari setengah abad. Dia sangat ramah dan cepat akrab dengan penumpang lain yang baru naik. Segala hal selalu beliau tanyakan, dan beliau sedikit banyak berbaur apabila dua orang atau lebih sedang melakukan percakapan. Bus mini berhenti di daerah Maktal, seorang ibu dengan tiga orang anak yang masih terbilang balita menaiki bus mini. Mereka duduk sebaris dengan saya. Ibu tersebut tampak kerepotan, anak yang paling kecil (perempuan) digendong di sisi kirinya, anak kedua (perempuan) bergelayut manja di sisi sebelah kanan, sedangkan anak pertamanya (laki-laki) tidak mau kalah dengan adik-adiknya, dia mencari perhatian dengan cara lebih memilih berdiri di depan ibunya daripada duduk disamping beliau. Saya membayangkan jika saya berada di posisi ibu tersebut, saya akan bekerja keras bersama suami saya kelak agar kami dapat memiliki mobil pribadi agar saya dan suami dapat duduk di depan dengan nyamannya, dan anak-anak duduk di bangku belakang. Betapa repotnya seorang ibu mengurus tiga anak kecil di kendaraan umum dengan kapasitas terbatas.

Tidak jauh dari Maktal, tepatnya di daerah Bayongbong, seorang lelaki naik dan duduk di bangku depan bersama ibu berumur di samping supir. Penampilannya terbilang gaul untuk pemuda di desa. Kedua antingnya ditindik, pergelangan kedua tangannya dihiasi oleh gelang-gelang karet berwarna hitam, sepuluh kuku jari tangannya berwarna hitam mengkilap. Padahal dia cukup menarik dan memiliki senyum yang manis walau tidak menggunakan aksesoris apapun. Saya berani menjamin.

Bus mini kami berhenti beberapa waktu di daerah pasar Cikajang untuk memenuhi kuota penumpang. Dari tempat pemberhentian tersebut, ada beberapa orang baru, diantaranya rombongan murid SMKN Cikajang, seorang perempuan yang masih tampak muda, seorang ibu berusia matang menggendong bayi yang masih sangat rentan, serta dua orang kakak (perempuan) adik (lelaki). Memang pada dasarnya saya adalah manusia modern dengan jarak pandang yang sangat terbatas, saya hanya memerhatikan orang-orang yang berada di dekat saya.
Rombongan murid kebanyakan duduk di bangku paling belakang, hanya dua orang duduk di samping saya. Perempuan muda duduk di depan rombongan murid, dan ibu berusia matang dan menggendong bayi rentan duduk di depan perempuan muda/dibelakang bangku saya, sedangkan kakak beradik duduk terpisah; Kakak duduk sejajar dengan perempuan muda, dan adiknya duduk di pinggir dua orang murid disamping saya.

Sebelum berangkat, bayi yang masih sangat rentan itu tiba-tiba menangis kencang. Bagi saya, tangisan dan jeritannya sangat memilukan, membuat saya khawatir akan pita suaranya yang juga rentan. Bayi itu kepanasan, dengan lapisan kain tebal yang menyelimutinya, dengan kondisi tubuh ibunya yang sedikit tambun, dan keadaan bus mini yang pengap. Hingga ibu berusia matang itu memutuskan untuk pindah kedepan bersama pemuda, ibu berusia setengah abad, dan supir. Seperti biasa, ibu berusia setengah abad bertanya akrab kepada ibu yang menggendong anak. Dari percakapan mereka, diketahui bahwa bayi yang dia gendong adalah cucunya, sedangkan anak dari bayi tersebut adalah perempuan muda yang semula duduk dibelakang anaknya. Terbesit pikiran apakah sang ibu kandung merasakan kepiluan yang saya rasakan ketika mendengar bayi itu menangis? Pikiran susulan yang terbesit kenapa bayi itu digendong neneknya sampai neneknya mengeluarkan payudaranya untuk mendiamkan bayi sedangkan ibu kandung hanya diam dibelakang serta tidak berbuat apa-apa?

Kemudian saya tertarik memperhatikan salah satu murid SMKN yang duduk disamping saya. Dia curhat kepada temannya dengan suara yang dapat didengar oleh seluruh penghuni bus mini, ponsel qwerty merk Nex*** di pegang di tangan kiri sambil seringkali layar ponsel tersebut digunakan untuk bercermin. Terdapat empat buah cincin emas di jari-jari tangannya, sebuah jam tangan mencolok berwarna merah muda dan sepuluh kukunya dibubuhi cat kuku dengan warna yang sama. Sepertinya, dia sedang mencari perhatian pemuda yang duduk di bangku depan. Kesimpulan tersebut saya dapat dari pengalaman ketika saya seumur dengan murid itu.

Lain halnya dengan cerita kakak beradik yang duduk terpisah. Baru saya sadari kalau adik laki-laki yang duduk disamping murid SMKN tersebut memiliki keterbelakangan mental. Dia tidak dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, melakukan apapun seenak dia tanpa memperhatikan orang lain, dan pandangan matanya kosong. Sepertinya dia tidak nyaman dengan keadaan sumpek didalam bus mini, seperti halnya ketidaknyamanan murid SMKN akibat keberadaannya. Banyak keluhan yang dilontarkan murid SMKN yang cari perhatian itu kepada saya, dan saya hanya berusaha berkata bahwa dia tidak akan menggigitmu. Adik lelaki itu semakin gelisah, dia semakin tidak nyaman walau sudah berkali-kali berganti posisi. Dia duduk dibawah beberapa saat, batuk-batuk, sekali-kali kepalanya bersandar pada paha murid SMKN, dan dia pun muntah. Ibu tiga anak seketika berteriak dan mengeluh karena muntahan adik lelaki itu mengenai kakinya. Kakaknya dibelakang mulai khawatir, dia memberikan kantong plastik dan air sambil terus menanyakan keadaan adiknya. Salah satu murid SMKN akhirnya turun, dan satunya lagi yang cari perhatian pindah ke bangku belakang. Tersisa saya, ibu tiga anak dan adik lelaki itu. Dengan baik hati ibu setengah abad di depan membawa anak kedua untuk duduk dipangkuannya, sehingga sang ibu tidak terlalu repot. Beberapa saat, adik lelaki terlihat tenang tertidur disamping saya, sedikit mengigau. Kakaknya selalu mengajaknya berkomunikasi, dan dengan intonasi yang kurang jelas, adik lelaki berkata bahwa dia ingin makan. Sungguh kakak yang sabar dan perhatian, dia terus mengajak adiknya berkomunikasi meski pandangan semua orang tampak sinis, terutama ibu tiga anak. Keadaan mulai berubah. Tindak-tanduk adik lelaki tampak gelisah kembali, sekarang dengan batuk yang lebih keras dan membuat orang-orang mual, dia pun kembali duduk di bawah, sekarang bersandar pada paha saya. Tidak lama, beberapa kali dia muntah. Walaupun dia memegang kantong plastik, dia tetap muntah tanpa menggunakannya sebagai wadah. Alhasil, bajunya dipenuhi muntah. Beruntung kami tiba di pemberhentian untuk makan siang. Setelah adik lelaki turun dengan muntah berceceran dimana-mana, saya akhirnya melihat kakaknya dengan jelas. Dia telaten membersihkan muntahan adiknya, sabar, perhatian, dan tampak sangat sangang kepada adiknya. Badan kakaknya sedikit tambun, cantik, kemayu, dan tampak keibuan. Kondektur membereskan muntahan di dalam bus mini. Dan saya memutuskan tidak keluar untuk makan dan tidak berpindah dari tempat duduk saya semula. Ibu tiga anak pindah ke belakang seiring dengan turunnya ibu, anak dan cucu yang rumahnya tidak jauh dari tempat pemberhentian bus mini.
Setelah 20 menit, kami bersiap berangkat. Kendala berikutnya pun kembali datang. Kopling bus mini tiba-tiba mengeras dan tidak bisa di otak-atik. Kami pun menunggu. Rombongan SMKN di bagian belakang memutuskan untuk turun dan menaiki bus mini lain daripada harus menunggu.
Ibu berusia setengah abad memecahkan kesunyian diantara penumpang ynag tersisa. Beliau menanyakan keperluan ibu ynag pergi ke Garut kota bersama ketiga anaknya. Ibu tiga anak itu berkata bahwa tadinya dia tidak ingin mengajak ketiga anaknya ikut serta. Dia hanya ingin pergi bersama anak bungsunya. Namun suaminya terbebani apabila kedua anaknya ditinggal dan takut terganggu apabila sang suami sibuk membenarkan mobilnya. Dari pernyataan yang diucapkan suami ibu tiga anak, saya kembali membayangkan dan berdoa supaya suami saya kelak tidak akan memprioritaskan mobil kami, dan lebih memilih bermain bersama anak-anak.
Saya hanya mendengarkan celotehan anak-anak dan cerita dari ibunya sambil melihat kakak dan adik ynag memutuskan untuk meneruskan perjalanan dengan naik ojeg, padahal sisa jarak ynag harus ditempuh masih sangat jauh. Otomatis harga biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih mahal. Betapa tegarnya kakak itu. Tidak ada raut kesal diwajahnya melihat apa yang telah dilakukan sang adik.

Sungguh perjalanan yang luar biasa. Hari jumat yang penuh berkat, berkat jumat, saya bisa melihat ketegaran kakak menghadapi adiknya yang kekurangan sehingga saya berpikir dua kali untuk berselisih dengan adik-adik saya di rumah; bisa mendapatkan pelajaran mengenai komunikasi massa dari ibu berusia setengah abad; bisa berpikir cara untuk memilih calon suami yang bertanggungjawab dan sayang keluarga, apa adanya tanpa berpenampilan berlebihan; bisa mengendalikan diri untuk tidak berbuat dan berpenampilan diluar kewajaran; bisa berusaha untuk menjaga buah hati tanpa merepotkan orang lain disekitar saya; [mudah-mudahan] bisa lebih sabar, mandiri, percaya diri, dan memiliki kebisaan lainnya.

Sabtu, 05 Juni 2010

Dogystyle, Sodomi, dan/ Menusuk dari Belakang

Sudah lama sekali saya tidak menuangkan pikiran di blog ini. Padahal sangat sulit untuk memulai kembali suatu rutinitas yang sudah lama ditinggalkan. Dan untuk awal tulisan ini, saya ingin berbagi mengenai ‘pengalaman’ saya tentang judul diatas.

Kenapa saya berikan tanda kutip untuk kata pengalaman? Tentu saja jawabannya adalah saya ingin memberikan kesan ambigu terhadap kata tersebut. Kalau saja saya menulis kata tersebut tanpa tanda petik, otomatis pembaca tulisan ini akan berpikir kalau saya berpengalaman akan gaya bercinta dogysytle ataupun pengalaman disodomi maupun ditusuk dari belakang. Maaf membuat kalian kecewa, namun itu bukan maksud dari judul yang saya berikan kepada tulisan ini.

Jujur sejujur-jujurnya, saya sangat tidak suka dengan semua perbuatan menyimpang tersebut.

Saya mendapatkan inspirasi menulis mengenai DSM (Dogystyle, Sodomi, Menusuk dari belakang) setelah saya menonton film Serigala Terakhir sendirian pada waktu tengah malam. Dan sekarang sudah pukul 2 dini hari. Dalam film itu, saya melihat tokoh Djarot yang dipecudangi oleh seorang penguasa para napi. Dari sana, otak saya langsung membuka files mengenai hal serupa ketika saya masih bau kencur.

Awal mula saya mengenal istilah sodomi adalah ketika waktu SD dulu, saya menonton film Jacklyn. Pada waktu itu, tidak ada tulisan ‘bimbingan orangtua’ di layat TV. Oleh karena itu saya nonton sendirian, dan sialnya, scene yang saya tonton seharusnya tidak saya tonton pada waktu saya masih belum bisa berpikir layaknya orang dewasa yang sudah menganggap hal tersebut biasa. Anak kecil ceria teman Jacklyn yang diculik oleh pak tua gendut bermuka sangar pada waktu itu dikurung disebuah gudang. Pada awalnya saya melihat sedikit kebaikan dari pak tua gendut bermuka sangar karena biadab itu memberikan makan kepada anak kecil ceria teman Jacklyn. Ketika suasana diceritakan sudah malam hari, pak tua gendut bermuka sangar menyunggingkan seringai yang aslinya sangat menyeramkan. Biadab itu hanya berdua dengan sang anak kecil ceria teman Jacklyn, dan pintu pun ditutup.

Ketika Jacklyn sebagai sosok pahlawan kesiangan tiba, sikap anak kecil ceria tersebut menjadi berubah. Dia lemah, ketakutan dan tampak shock. Setelah beberapa menit, dia pun meninggal dipangkuan Jacklyn. Saya pun menangis dan mungkin sedikit trauma juga. Awalnya saya bertanya-tanya, apa yang mereka (pak tua gendut bermuka sangar dengan anak eks-ceria eks-temannya Jacklyn) lakukan di dalam ruangan tersebut. Seiring berlalunya waktu, saya pun mendapatkan jawaban dari kakak sepupu saya. Dan mulailah trauma tersebut menjalar. Saya tidak ingin mendengar, melihat ataupun merasakan adegan itu. Hehe. Maka, percaya atau tidak, saya belum pernah menonton film atau video porno sampai saat ini. Saya masih berani membaca artikel atau cerita seputar seks, tapi BIG NO bagi saya untuk menontonnya.

Pernah suatu waktu ketika saya berdomisili di kostan daerah Nusa Indah-Garut, semua teman-teman kostan sedang berkumpul di teras kamar. Ternyata mereka sedang menonton video porno di telepon seluler milik the C*Ci. Lebih sial lagi, ketika saya melihat sekilas, yang saya lihat adalah adegan sodomi. saya melihat si aktor berkali-kali memasukkan senjatanya di anus aktris. Aktris merasa kesakitan dan mungkin ada enaknya juga (sumpah, saya sekaang merasa sangat mual).

Inhale exhale. Oke, kita lanjutkan. Selain itu, akhir-akhir ini saya sering melihat berita kriminal atau semacam investigasi seperti halnya kasus seorang bandot tua yang menyodomi belasan anak jalanan. Otomatis cerita tersebut langsung membuat saya suudzon terhadap anak-anak dan bapak-bapak yang saya temui di jalan. Semakin saya ingin menghilangkan rasa trauma ini, semakin banyak files mengenai hal tersebut yang saya terima. Dunia di luar sana amatlah kejam, saya mungkin tidak sanggup melihat kekejaman itu langsung. Makanya Allah menempatkan saya di daerah yang cukup damai. Saya senang menjadi anak rumahan, saya masih belum berani menerima kenyataan tentang kekejaman dunia.

Walaupun ini sedikit mustahil, tapi saya berdoa dan selalu memohon agar orang-orang di dunia ini kehilangan seluruh jiwa tamak, jahat dan dendam. Seperti kata pak Haji di Kiamat Sudah Dekat dan bapak saya sendiri pun bilang begini, “kunci kedamaian hanyalah Ikhlas.” Semakin orang tidak ikhlas, semakin dia tidak menerima kenyataan. Semakin dia tidak bisa menerima kenyataan, semakin dia merasa tidak puas. Semakin dia tidak puas, semakin dia ingin mencari. Semakin banyak informasi yang di dapat, akan semakin banyak pula penyimpangan yang dia lakukan.