Kamis, 25 Agustus 2011

Sebut saja Lembar Persembahan (Bagian 2-tamat)

Saya mempersembahkan ucapan terimakasih yang teramat banyak kepada orang-orang yang, secara langsung maupun tidak langsung, telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Repetisi dalam Penggambaran Gaya Hidup Hedonis dalam Tiga Novel Karya F. Scott Fitzgerald”; mereka adalah

1.Mamah dan Bapak.

2.Dosen-dosen Fakultas Sastra, khususnya bapak Ari J. Adipurwawidjana dan ibu Ida Farida serta para dosen pengutamaan sastra, yang sudah membagikan banyak ilmu dan pengalamanya.

3.Ilham Mulah Putra yang bersusah payah membuat kartu anggota perpustakaan Maranatha agar bisa meminjam novel-novel Fitzgerald yang saya butuhkan untuk menulis skripsi. Cobain ngetik di dalam perpus kampusmu sendiri, am. Semoga TAnya cepat rampung dan selalu semangat di tempat kerjanya. ;)

4.Mahesa Bagas Satya sebagai pembimbing ketiga yang selalu menyediakan waktu luang di sela-sela jadwal padatnya untuk berdiskusi, berbagi informasi, memasakkan kudapan enak, membantu membuatkan desain CD, membaca tulisan saya, dan tentu saja berhedon bersama sehingga saya bisa lulus sebulan setelah lulusnya sang legenda sastra. Sukses selalu, BagasSS! :D

5.Christy Tisnawijaya, Arlin Widyastuti, Peni Desiana, Yolanda Priska S., Ceriya Mayasari, Dyah Apriastuti CHP, Ihsan Naufal, Zita Reyninta S. dan semua teman-teman pengutamaan sastra 2011 yang selalu bergotong royong serta saling menyemangati dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah, selalu siap sedia apabila diajak berbagi informasi dan pastinya berhedon juga. Lekas bereskan punya kalian, temans. Jangan lupa selalu teror Teguh Wijayanto agar dia bisa mulai mengetik dan pensiun jadi pejabat.

6.Teman-teman kelas C 2007, Fathia Anggriani, Arie Bukhori, Risya Ayu, Miftahul Ilmi, Fifi K.J, Irfan Fahmi, Tika Febrianantya, Tia Lestari, Indra Maulana, dan lain-lain yang memberikan semangat dan motivasi untuk terus menulis.

7. Alfin Tofler yang tanpa pamrih selalu membantu mencarikan data-data yang saya butuhkan untuk menulis; Aditya Eko, Adyasa P.Devindra, dan Etzioni I. yang tidak lelah membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya; Ajeng Chunduk yang sukarela memberikan sarana penyalur informasi penting bagi saya dan teman-teman; Selly Andrea dan Andra N. Oktaviani yang terus mengingatkan dan memberikan semangat untuk terus menulis; Miranti C. yang sangat membantu memperbaiki penampilan saya sebelum sidang, dan teman-teman senior lainnya yang memotivasi saya untuk bisa segera merampungkan kitab keramat. Terimakasih, kaka.

8.Semua teman-teman yang meluangkan waktu untuk memberikan semangat dan selamat. Teman teman Sastra Inggris Angkatan 2007-2009, Pondok Roslina, PTS, GSSTF, KKN, FOS, dan semuanya, terimakasih banyak.

Saya akan sangat merindukan dipanggil bubidan. :) Sukses selalu untuk semuanya.

Sebut saja Lembar Persembahan (Bagian 1)

Sebelum menyebutkan orang-orang yang memiliki peran besar sehingga saya bisa mendapatkan gelar Sarjana Sastra, saya mau sedikit berbagi informasi (atau mungkin bisa dibilang curhat).

Sampai sekarang saya masih tidak menyangka bahwa saya bisa menyelesaikan studi di Sastra Inggris Universitas Padjadjaran tepat waktu. Alasannya hanya satu, karena saya adalah mahasiswa Sastra Inggris pengutamaan sastra. Dari mulai saya menjadi mahasiswa tingkat 1, sudah banyak ‘katanya’ yang saya dengar dari para senior di kampus. Salah satu ‘katanya’ yang paling tersohor di setiap angkatan adalah “Jangan pilih pengutamaan sastra, katanya dosen-dosennya suka ‘membantai’ terus mahasiswa-mahasiswa di pengutamaan sastra lulusnya lama.”

Dari ‘katanya’ tersebut, saya (yang pada saat itu adalah seorang mahasiswa baru yang menganggap senior sebagai orang-orang yang lebih berpengalaman (dan keren (serta pintar))) tentu saja memercayai mereka dan mencap pengutamaan sastra sebagai hal yang menyeramkan. Pada saat itu saya beranggapan bahwa betapa hebat, berani, kuat, dan pintarnya senior-senior saya yang memutuskan untuk memilih pengutamaan sastra dan berhadapan dengan dosen-dosen yang suka membantai itu.

Selama proses pembelajaran (dari semester 1 sampai semester 4), saya memutuskan untuk menjadi mahasiswa yang mencari aman dengan cara selalu berada di barisan suara terbanyak. Misalnya, kalau kebanyakan teman saya pilih A, maka saya pun turut memilih A. Akan tetapi, ketika memasuki semester 5, saya meragukan keputusan yang saya buat sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh metode belajar-mengajar yang jauh berbeda yang saya terima di beberapa mata kuliah yang saya ambil pada waktu itu. Di semester 5 dan semester 6, banyak sekali ujaran “Ooooohhh gituu!” dan “Oh iya, ya!” di beberapa mata kuliah tersebut.

Singkat cerita, saya akhirnya berhadapan dengan semester 7. Memasuki tingkat 4, saya dan teman-teman wajib memilih pengutamaan. Pilihannya hanya ada dua, pengutamaan Sastra atau pengutamaan Linguistik. Saya pun memilih pengutamaan sastra. Sampai sekarang, saya tidak tahu alasan memilih pengutamaan ini. Apabila mengacu pada anggapan saya sebelumnya terhadap para senior yang masuk pengutamaan sastra, dapat dikatakan bahwa saya bukan orang hebat, saya sangat penakut, tentu saja saya juga tidak termasuk orang yang kuat, dan saya tidak pandai atau pintar (karena salah satu orang berpengaruh di kampus juga bilang “you are hardly intelligent”). Jadi, saya tidak punya bekal apa-apa ketika memilih pengutamaan sastra. Beberapa teman memilih pengutamaannya masing-masing dengan barbagai alasan, misalnya mereka ingin cari aman, karena ingin lulus cepat, atau karena tidak ingin bertemu lagi dengan dosen tertentu. Kalau saya, saya sekadar ingin memilihnya saja.

Pada awalnya, saya merasa takut dan ingin sekali mundur karena saya tidak memiliki alat tempur apapun untuk menghadapi para dosen yang ‘katanya’ suka membantai. Namun, semakin sering masuk ke kelas sastra, saya menyadari bahwa banyak sekali hal yang belum saya ketahui dan juga banyak sekali hal penting yang saya abaikan di masa sebelumnya. Oleh sebab itu, makin banyak ujaran “Ooooohhh gitu!” dan “Oh iya, ya!” yang keluar. Mengenai masalah bantai-membantai, saya rasa maksud para senior dari ‘dosen-dosennya suka membantai’ di sini adalah para dosen pengutamaan sastra selalu memberikan banyak sekali bahan bacaan serta tugas membuat tulisan atau esai. Tidak ada soal pilihan ganda atau jawaban singkat di semua UTS dan UAS mata kuliah pengutamaan sastra. Di pengutamaan sastra, mahasiswanya dituntut untuk rajin membaca dan menulis kalau mereka ingin keluar hidup-hidup (atau keluar kelas dengan nilai memuaskan). Tidak baca + tidak menulis = mendapat nilai kecil.

Saya sudah bicara terlalu banyak. Sebaiknya saya mulai menulis kesimpulan informasi (atau curhat) ini dan memulai menulis daftar orang-orang yang saya janjikan sebelumnya. Jadi, bagi siapa saja yang membaca tulisan ini (khususnya) teman-teman angkatan 2008, 2009, 2010, 2011, dan seterusnya, kalian boleh saja mendengar ‘katanya’ yang sudah melegenda tersebut, tapi janganlah langsung memercayainya. Pertama, tanyakan dulu berapa IPK senior kalian yang menyebutkan ‘katanya’ tersebut, terus tanya juga apa pengutamaan yang dia ambil beserta alasannya dan jangan lupa, tanya juga dia angkatan berapa. Saya, yang juga merupakan senior angkatan 2007 lulus dengan IPK terakhir 3,10 dan mengambil pengutamaan sastra, ingin bilang bahwa ‘katanya’ tersebut tidak boleh kalian percayai. Selama belajar di kelas-kelas pengutamaan sastra, kami diajarkan untuk menjadi berani (mengeluarkan pendapat), kuat (menghadapi sepetan atau sindiran para dosen),dan rajin (membaca dan membuat tulisan), sehingga kalau sudah waktunya menghadapi dunia kerja, kita sudah memiliki senjata untuk melawan para pembantai yang sebenarnya. *agak lebai memang, tapi…sudahlah*

Satu paragraf terakhir ya! Janji! Menurut saya, lulus cepat tidak tergantung pada pengutamaan yang dipilih atau kepintaran yang dimiliki, tetapi hanya tergantung pada sifat rajin saja. Rajin kuliah, rajin baca, rajin nulis, dan rajin bimbingan.

kenapa ‘tin’ dan kenapa ‘pus’.

Nama saya Widi Zakiyatin Nupus. Ketika saya menyebutkan nama lengkap, tidak sedikit orang yang bertanya tentang arti dari Nupus dan juga perubahan dari Zakiyatun menjadi Zakiyatin. Sebenarnya, saya mempunyai alasan tersendiri akan hal tersebut.
Ketika lahir, kakek saya memberikan nama Zakiyatun Nufus. Kakek menulisnya menggunakan tulisan arab di secarik kertas. Nama tersebut berasal dari bahasa Arab, Zakiyatun memiliki arti bersih dan suci, sedangkan nufus berarti jiwa. Ayah saya memberikan nama Widi sebagai nama depan. Dalam bahasa Sunda, ada istilah ‘diwidian ku gusti’ yang berarti diridhoi oleh Tuhan. Maka Widi dapat diartikan sebagai Ridho. Jadi, nama lengkap saya yang sebenarnya adalah Widi Zakiyatun Nufus memiliki arti jiwa yang bersih, suci dan diridhoi.
Saya adalah seorang anak yang sangat bahagia karena mendapatkan banyak kasih sayang dan perhatian dari orangtua dan dari orang-orang sekitar. Mamah pernah bilang, di mana pun saya singgah, saya akan mendapatkan banyak perhatian dan disukai oleh orang-orang yang berada di tempat yang saya singgahi. Dan hingga detik ini, perkataan mamah memang terbukti benar. Orang-orang baru yang saya temui, baik yang lebih tua, seusia, maupun yang lebih muda, selalu memberikan respon positif terhadap saya. Hal tersebut tentu saja memiliki penjelasan. Dari kecil, mamah selalu mengajarkan anak-anaknya untuk bersikap sopan dan bertutur kata halus kepada keluarga serta kepada setiap orang yang ditemui. Hal kecil semacam sapaan sopan ataupun hanya memberikan senyuman kepada orang lain yang baru ditemui akan memberikan kesan baik. Preman sekali pun akan segan untuk mengganggu kita apabila sikap kita sopan terhadap mereka.
Akan tetapi, tidak semua orang menghargai sikap seperti itu. Di tulisan saya sebelumnya, saya sudah menerangkan bahwa saya dibesarkan oleh keluarga yang serba berkecukupan. Kondisi badan saya pada saat itu terbilang sehat dan bentuk tubuh saya ideal, namun saya dianggap gemuk karena saya bersekolah dasar di perkampungan yang mayoritas anak-anaknya serba hidup kekurangan. Banyak anak-anak yang sedang nongkrong di jalan yang mengejek saya sebagai gadis gemuk. (selengkapnya ada di widinupus.blogspot.com)
Pada saat itu, acara Si Doel Anak Sekolahan merupakan acara TV yang sangat diminati oleh banyak orang. Di sana terdapat tokoh yang bernama Zaitun yang dipanggil Atun. Atun memiliki badan yang subur, dan tentu saja hal itu berdampak pada panggilan masyarakat terhadap orang-orang berbadan subur di lingkungan tempat tinggal mereka. Orang-orang yang berbadan subur diidentikan dengan tokoh Atun, dan saya termasuk ke dalam kategori tersebut. Setiap berjalan kaki, walau saya berusaha untuk bersikap seramah mungkin, selalu saja ada orang iseng yang mengejek saya gendut dan/ memanggil saya dengan sebutan Atun. Begitu pula dengan teman-teman jail yang sudah tahu nama lengkap saya dan menemukan kata Atun di ZakiyATUN, mereka otomatis juga memanggil saya demikian.
Saya memiliki sifat sangat sensitif. Banyaknya ejekan dari orang-orang iseng tersebut membuat saya tumbuh menjadi gadis yang tidak percaya diri dan selalu memandang diri saya rendah. Panggilan Atun membuat saya tidak suka dengan nama saya sendiri karena Atun mengingatkan bahwa saya memiliki badan gemuk dan karena badan gemuk, saya menerima ejekan-ejekan tersebut dari orang-orang. Oleh sebab itu, saya meminta kepada pihak sekolah untuk mengubah Zakiyatun menjadi Zakiyatin di daftar hadir, daftar nilai dan bahkan ijazah saya.
Mengenai perubahan Nufus menjadi Nupus dapat saya jelaskan secara singkat. Penjelasan pertama, perubahan huruf ‘f’ menjadi ‘p’ merupakan pengaruh kesundaan keluarga saya. Saya dan keluarga, yang berdomisili di Tasikmalaya dan juga Garut (tepatnya Pameungpeuk), adalah suku Sunda. Semua orang tahu bahwa Sunda sangat akrab dengan huruf ‘p’. Ketika hendak menyebutkan kata Nufus, orang sunda akan menyebut Nupus. Maka, terdapat beberapa kesalahan pengucapan yang kemudian menimbulkan kesalahan penulisan dari Nufus menjadi Nupus di surat-surat penting keluarga saya, termasuk akta lahir. Penjelasan kedua, kakek saya memberikan nama Nupus tersebut kepada setiap cucu perempuannya. Misalnya sepupu saya bernama Anissa Nur Fitri Yatin Nupus dan ada pula sepupu lain yang bernama Avina Nupus. Jadi, Nupus yang berasal dari kata Nufus menunjukkan bahwa saya adalah orang Sunda, dan Nupus merupakan sebuah identitas (atau bisa disebut sebagai marga) yang diberikan kepada cucu perempuan kakek saya.
Kalau ada orang yang bertanya mengenai Zakiyatin atau Nupus lagi, saya berharap dapat menyodorkan tulisan ini tanpa harus menjelaskannya secara lisan.