Rabu, 22 September 2010

SASTRA VS LINGUISTIK

Hari ini (24/08) adalah gerbang menuju perkuliahan tingkat empat. tidak terasa, saya sudah menjadi angkatan tertua (2004-2006 tidak dihitung) dan memiliki tiga junior di kampus. Pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) kali ini memiliki sensasi yang jauh berbeda dari pengisian KRS semester-semester sebelumnya. Saya (angkatan 2007) sudah diharuskan untuk memilih pengutamaan atau minat yang telah ditentukan sejak Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris dibangun. Ada dua pengutamaan dalam pembelajaran di Sastra. Linguistik dan Sastra. Kedua kata tersebut sudah mewakili definisi dan isi yang akan kita temukan didalamnya. Linguistik lebih mengacu kepada tata bahasa seperti phonetik, fonologi, semantik, pragmatik, sintaksis, dan ada pula penerjemahan (translation), sedangkan sastra mengutamakan karya sastra seperti novel, puisi, drama, atau teks yang harus dianalisa oleh para peminatnya.

Saya belum siap untuk memilih, tapi program para petinggi kampus memaksa saya untuk bergegas menentukan pilihan. Dari awal perkuliahan di kampus biru, saya lebih condong ke pengutamaan sastra. Ada dua alasan yang saya miliki; pertama, saya senang membaca karya sastra. Membaca adalah salah satu hobi yang paling menyenangkan bagi saya selain memasak, menonton dan menulis. Kedua, kebanyakan teman senior saya di Sastra Inggris dari angkatan 2006 kebawah masuk pengutamaan Sastra. Sayangnya, ada tiga alasan saya belum siap memilih mengambil pengutamaan Sastra; pertama, hobi saya memang membaca, akan tetapi bacaan yang saya punya adalah termasuk bacaan yang dapat dikonsumsi oleh umat manusia yang memiliki tingkat intelegensia standar. Selain itu, kebanyakan atau hampir semua bacaan saya menggunakan bahasa Indonesia. Ketika semester 5 saya mendapatkan mata kuliah further Studies in Prose, saya diberikan beberapa karya sastra novel berbahasa Inggris oleh dosen. Tidak ada satupun dari semua novel yang dia berikan beres saya baca. Saya terlanjur bosan dan pusing melihat berbagai macam kata-kata yang tidak familiar. Kedua, hampir semua teman-teman senior saya lulus tidak tepat waktu. Padahal saya yakin mereka mempunyai kemampuan yang sangat lebih dari saya, jauh di tingkat atas. Hanya ada satu orang senior 2006 bernama Aditya Eko Adriyanto yang dengan beruntungnya lulus tepat waktu (4 tahun). Alasan terakhir, saya sering menyimak dan memperhatikan bahwa semua dosen pengutamaan Sastra adalah tipikal orang-orang yang memiliki kepintaran berlebih. Kepintaran yang jauh diatas rata-rata membuat mereka banyak berulah, dan mahasiswa merekalah yang menjadi korban. Para mahasiswa ynag memiliki iman yang lemah dapat terpengaruh atau terdoktrin oleh perkataan dosen-dosen mereka di kelas, dan akhirnya menjadi pengikut setia.

Alasan-alasan tersebut membuat saya ragu untuk masuk pengutamaan Sastra. Ditambah oleh hasutan teman-teman 2006 yang sudah memiliki asam garam kehidupan disana sebelum saya. Banyak sekali penderitaan yang mereka ceritakan kepada saya baik secara langsung maupun secara tersirat. Saya semakin takut mengadapi keangkeran Sastra. Di sisi lain, saya juga tidak mau dicap sebagai seorang pengecut, hanya karena ketakutan dan cap angker yang dimiliki Sastra dan cerita orang-orang berpengalaman namun saya belum membuktikan sendiri, saya berpaling ke Linguistik. Malam-malam sebelum pengisian KRS, saya sudah berencana untuk melakukan shalat istikharah. Akdir berkehendak lain, saya kedatangan tamu rutin setiap bulan. Alhasil saya hanya bisa berdoa sebelum tidur agar tuhan saya memberikan petunjuk di dalam mimpi. Hasilnya masih samar-samar.

Di jam brunch, ketika saya sudah mendapatkan lembaran KRS dan daftar jadwal, saya belum berani menyalin semua mata kuliah pengutamaan Sastra. Hanya pandangan hampa yang saya berikan kepada lembaran tersebut selama beberapa lama. Setelah berpikir lama, saya yakin kalau saya seorang yang teguh pada pendirian, saya yakin saya bukan seorang pengecut, saya yakin saya bisa menghadapi semua kesulitan yang mungkin akan saya temui nanti, saya yakin pilihan yang saya ambil bukan karena saya terpengaruh dan ikut-ikutan teman-teman yang sudah senior. Sastra atau linguistik sama saja, hanya individu sendiri yang bisa menentukan apakah itu sulit atau tidak. Jika memang sastra sesulit dan lebih sulit dari linguistik, saya haya perlu meningkatkan tingkat kerajinan dan kemampuan saya. Intinya, jangan malas, belajar untuk sabar dan ikhlas.

Keyakinan saya sudah meningkat, sebelum pudar kembali, saya mengisi KRS dengan mata kuliah-mata kuliah pengutamaan Sastra. YA, SAYA MEMILIH SASTRA !

10 komentar:

  1. Dan sekarang adl giliran saya mengalami kebingungan yg sama sepertimu ! :)

    BalasHapus
  2. I know that feel. Now, I'm on you.

    BalasHapus
  3. SAMA!! Ini yang sedang saya rasakan skg

    BalasHapus
  4. Sekarang juga sedang saya rasakan..

    BalasHapus
  5. Sekarang juga sedang saya rasakan..

    BalasHapus
  6. Même avec moi ici, c'est très difficile de choisir. Moi, je suis étudiant en littérature française.

    BalasHapus
  7. Saya sebentar lagi Mas, tinggal nunggu bulan saja. Nanti saya tulis juga di blog saya.

    BalasHapus
  8. Saatnya saya mengalami kebingungan ini :(

    BalasHapus
  9. sekarang menyesal ga kak masuk konsentrasi sastra? karena banyak yang bilang prospek kedepan nya linguistik lebih banyak dan lebih menguntungkan

    BalasHapus