Selasa, 21 Juli 2009

Ruang Tak Bertuhan (karya pertama widinupus)

Dalam satu ruangan luas yang tampak begitu lenggang dan tampak ramai ( sepi, sebetulnya ) oleh suara bising rintihan dan jeritan hati tiga orang insan manusia yang terlihat ( tidak, sebenarnya) dalam kusutnya raut muka mereka ( Iyakah?). Lakon pertama tampak begitu tak karuan. Terkadang menangis sedu-sedan, terkadang tak ayal melepas tawa yang menggelegar. Lakon kedua tampak sangat kontras dari lakon sebelumnya. Dia hanya berjalan. Terkadang berjalan bolak-balik, terkadang berjalan berputar-putar, sambil tak henti-hentinya berkata dengan suara parau, seperti hendak menangis. Lakon terakhir hanya duduk diam dengan bola mata yang terus-terusan mengamati kedua lakon lain. Menatap, sekali-kali menunduk, dan menatap mereka lagi. Begitu seterusnya.

Para lakon :

Lakon satu : Seorang perempuan mungil bernama Aldesta Pincrown.

Lakon dua : Seorang laki-laki paruh baya bernama Hendry Gottamna.

Lakon tiga : Seorang laki laki muda yang bernama Larendra Izaky.

Adegan Tunggal

Semua orang tampak sibuk dengan sesuatu yang mereka imajinasikan masing-masing. Tidak ada yang memerhatikan keadaan sekitarnya yang begitu lenggang dan dipenuhi debu jalanan yang dihasilkan oleh tingkah laku Hendry.

Hendry : Semua sia-sia, tak ada hasilnya. Semua hanya sampah yang tak berguna yang harusnya sudah kubuang jauh-jauh. Korek api! Ya, korek Api! Aku harus membakar semuanya. Aku harus musnahkan sampah itu. Sampah busuk! Kenapa tidak dari dulu. Sebongkah sampah bodoh tak berotak.

Aldesta : Sampah itu indah. Pintar-pintar kau saja bagaimana memeliharanya. Seperti serpihan kaca yang berkilauan, aku mengganggapnya sebagai berlian yang mewah. Haha(tertawa lepas). Au..! Tapi berlian itu membuatku sakit. Jariku tergores olehnya. Perih. (Mulai terisak). Dasar sampah tak berguna! Apakah kau tahu, seharusnya kau berterima kasih padaku, bodoh! Aku sudah memuja dan menyamakanmu dengan berlian. Kau tahu berapa harga berlian itu? Lima puluh juta! Lebih barangkali. Kau bisa hidup enak hanya karena sebutir berlian. Tapi kau malah menjualnya dengan harga yang sangat jauh lebih murah. Berapa? Seratus perak? Hah... Sesen pun akan kau jual dengan mudahnya. (Tersenyum sinis). Kau mungkin benar orang tua. Sampah itu tak berotak.

Hendry : Kau tahu, sayang? Aku sudah muak sebenarnya. Dari dulu, ya. Kebodohan yang sangat nista kalau aku tak segera sadar, betapa kau lebih buruk dari yang mereka sangka. Mereka mungkin tidak tahu dan tidak akan pernah tahu seberapa seringnya kau tidur dengan dengkuran yang sangat menggangguku. Tapi itu tidak mengapa bagiku. Aku terima. Tunggu dulu.. Kenapa sekarang aku justru merindukan dengkuran itu?

Aldesta : Sayang? (tertawa). Sayang? Seberapa sering kau mengatakan hal itu padaku? Aku muak! Kau tahu? Aku benar-benar muak!

Hendry : Tumpahkan saja! Kau selalu menumpahkan makanan yang harusnya kau sajikan untukku. Mana sopan santunmu? Lemah lembutlah sedikit. Tapi aku tak akan sekali pun memarahimu. Kau tahu hal itu. Bahkan mungkin aku akan terus membiarkanmu menumpahkan makananku. Aku sangat-sangat merindukan hal itu.

Aldesta : Aku terhanyut dalam samudra yang ternyata berair busuk. Kenapa aku baru menyadari semuanya? Kenapa aku baru mencium bau tersebut? Kau kemanakan semua inderaku? Di jual pula? Dengan harga berapa? Atau kau mungkin memberikan semua milikku dengan Cuma-Cuma? Persetan kau! Memang siapa dirimu? Berkacalah sekali-kali. Aku kasihan sekali padamu. Kaca saja kau tidak punya. Baiklah, aku akan membelikannya di toko samping rumahku. Kebetulan disana sedang obral besar. Bukankah kau suka dengan obral? Obral janji, obral rayuan, obral cinta, apa lagi? Obral kemaluan pula, hah?!! (Tertawa sinis)

Larendra tengah asyik memerhatikan kedua orang itu. Hingga beberapa waktu, dia menunduk dan mulai memainkan tanah merah yang sedari tadi terus menemaninya, duduk membisu. Setelahnya, dia bangkit dan terjatuh lagi.

Larendra : TUHAAAAN!!! (tertunduk)

Aldesta : Tuhan? Dimana dia? Apa wujudnya? Apakah dia bersedia membeli barang obral? Mungkin dia bisa memungut sebongkah sampah busuk untuk dijadikan pupuk di taman-Nya. Atau mungkin dia mau membeli pacahan kaca yang dapat dijadikan pernak-pernik bagi kekasih-Nya. Hey anak muda, aku akan memberikanmu satu rahasia. (Sambil berbisik kepada Larendra). Sebenarnya, serpihan itu adalah berlian. (Tertawa)

Hendry : Sejenak berhenti berjalan dan menghampiri Larendra. Tuhan? Tahu apa kau tentang dia? Kau mau tahu? Dia itu musuh besarku! (Mulai berjalan bolak-balik lagi sambil kalut)

Aldesta : Halah! Kau jangan jadikan tuhan sebagai penutup dosamu yang teramat besar. Tuhan itu tidak tahu apa-apa. Buktinya, dia diam saja melihatmu memecahkan kacaku, hmm..Berlian mungkin. Kebohongan besar kalau dia berada di pihakmu.. (Tersenyum) Tunggu sebentar, apakah tuhan ingin menghancurkan kacaku juga, sama sepertimu?

Larendra : Jangan sekali-kali merendahkannya. Mungkin, dia yang paling setia menunggumu. Setia memperbaiki kacamu yang pecah. Menunggu kau untuk berbaikkan dengan-Nya. Apa yang tuhan perbuat terhadap kalian? Hingga kalian mencercanya dengan sangat kejam? Apa yang kalian perbuat terhadap tuhan? Itu sangat tidak adil!(Menunduk lagi)

Aldesta : Adil? Adil? Kau berbicara keadilan? Aku berada di jeruji pengap yang telah dia buat. Aku bersabar. Hakku terus-terusan di rampas olehnya. Aku bersabar. Aku melayaninya dengan sabar, meski dia tak ayal berbuat kasar. Oh, berlianku...Apakah itu yang namanya keadilan? (Terisak, diam terpaku)

Hendry : Makan saja keadilan itu! Siapa tahu bisa mengganjal perutmu yang sedang bernyanyi meminta makan. Tak ada lagi makanan yang dia sediakan untukku. Sungguh tega. Aku tidak tahu, dimana letak keadilan yang aku terima. Aku sangat mencintainya. Sangat mencintainya, sangat mencintainya. (Terjatuh perlahan)

Perlahan Larendra mengangkat wajahnya. Berdiri, jatuh lagi, dan menggigil.

Larendra : IBUUU!!!

Fade Out.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar