Selasa, 08 Februari 2011

Like Mother Like Daughter

Semester 7, yang menurut senior-senior saya di kampus adalah semester yang paling menakutkan dan merupakan mimpi buruk, telah saya lewati. Alhamdulillah saya masih selamat dan masih ada sisa semangat untuk menghadapi akhir semester di masa perkuliahan saya. Awal bulan Januari saya sudah bisa berlibur di rumah. Liburan yang cukup lama. Satu bulan.

Well, sebenarnya saya waswas menghadapi liburan selama itu. Jika saya terlalu lama berada di rumah, selalu saja ada konflik yang terjadi antara saya dan anggota keluarga lainnya, terutama dengan mamah. Kami, ibu dan anak perempuan satu-satunya, memang teramat sangat akrab. Saya tidak segan-segan memeluk atau mencium atau bahkan memegang payudara mamah ketika kami berpapasan. Mamah adalah teman curhat yang paling mengerti kondisi dan keadaan saya. Segala macam unek-unek yang saya pendam, selalu saya tumpahkan ke mamah. Kami saling berbagi cerita dan pengalaman sambil berpelukan, atau sambil saya memijat/menggaruk punggung/melulur badan mamah.

Perbedaan saya dan mamah yang paling tampak adalah dari segi kerajinan. Kalau saya sudah berada di rumah, saya layaknya seorang putri raja yang (di mata mamah) tidak pernah menyapu, mencuci, dan melakukan apapun. Kerjaan saya hanya makan, tidur, dan nonton TV. Itulah yang selalu menjadi pemicu konflik antara saya dan mamah kalau saya terlalu lama berada di rumah. Mamah selalu membandingkan saya dan dirinya. Serajin apapun kerjaan yang saya lakukan, selalu saja terasa kurang di mata mamah. Memang, saya tidak serajin mamah, di mata mamah, saya adalah seorang pemalas akut. Terkadang saya ingin bilang kalau saya dikenal paling rajin di kosan, bahkan ketika saya KKN. Saya hampir tidak pernah mencuci ke laundry kecuali untuk mencuci handuk, bedcover atau mukena, saya selalu membereskan kamar pagi-pagi. Menyapu, menghilangkan debu-debu, dan menata barang-barang agar terlihat rapi. Tapi semuanya percuma, karena saya dibandingkan sama mamah yang memang tidak pernah bisa duduk tenang kalau masih melihat tempat berantakan/kotor.

Cara kami kalau sedang berselisih adalah saling diam. Kami berdua sama-sama keras kepala. Harus ada orang yang menjadi pembuka obrolan. Baik itu mamah atau saya. Gengsi saya sangat tinggi, saya akan bertahan selama mungkin sampai akhirnya mamahlah yang selalu mengalah. Setelah 2-3 hari kita saling diam, mamah selalu membuka obrolan lebih dulu. Suasana antara kami kembali hangat.
Konflik terjadi ketika mendekati akhir liburan, tepatnya tanggal 3 Februari 2011. Sore itu kami sekeluarga akan pergi ke Joglo, dan biasanya kami berada disana sampai pukul 22.00 WIB. Pada hari itu, saya keasyikkan nonton drama korea. Saya selalu packing pada malam hari (sebelum keberangkatan besok subuh) setelah shalat maghrib, namun saya lupa kalau hari itu kami akan pergi ke Joglo. Akhirnya saya bilang ke mamah, “mah, jangan terlalu malam pulangnya, teteh belum beres-beres buat kembali ke Jatinangor.” Mungkin mood mamah sedang jelek karena capek beberes dan bantu bapak di toko, dengan sedikit menyentak, mamah menjawab “teteh ngapain aja dari tadi? Mamah mah tinggal santai, semua kerjaan mamah, termasuk menyiapkan keperluan teteh udah beres. Ini cuma masukin baju ke tas aja belum dikerjain.” Yah, saya pergi ke kamar, dan lanjut nonton drama korea, tanpa memedulikan panggilan mamah yang akan berangkat ke Joglo.

Hingga keberangkatan. Saya tidak bicara sama sekali. Saya hanya pamitan, memberi ciuman dengan dingin dan langsung pergi. Saya tidak mengabarkan mamah ketika sudah sampai di kosan, dan sampai saat ini, tanggal 8 Februari 2011, saya tidak pernah menghubungi atau dihubungi mamah. Padahal kami selalu mengobrol minimal setengah jam setiap dua hari sekali. Mungkin bagi anda yang membaca tulisan ini berpendapat saya yang salah. Memang, saya salah. Ego saya terlalu tinggi, dan saya tersiksa kerena itu. Saya selalu menangis tanpa sebab kalau ingat pertengkaran kami. Saya sayang sekali sama mamah, tapi saya terlalu sensitif dan gampang tersinggung kalau mamah sudah membandingkan tingkat kerajinan kami berdua. Mungkin sekarang mamah sudah menunggu isyarat saya agar mamah bisa menghubungi putrinya. Adik saya selalu sms setiap malam, seakan dia disuruh oleh mamah.

Speechless, SAYA KANGEN SAMA MAMAH!


foto mamah sama fa'i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar