Rabu, 11 Mei 2011

Saya Gemuk, dan Saya tidak Menyesalinya

Sekali-kali, saya ingin meluapkan emosi yang terlalu lama disimpan dan saya abaikan. Sebenarnya saya malu membuat tulisan ini, tapi hanya dengan tulisan, saya bisa dengan lancar mengeluarkan segalanya.

Saya terlahir dari keluarga yang sangat bahagia, dan (alhamdulillah) cukup berada. Hal ini dapat terlihat jelas dari kondisi fisik saya dan anggota keluarga lainnya. Ya, kami semua berbobot diatas rata-rata alias gemuk. Orangtua saya mendidik anak-anaknya untuk tidak boros berbelanja barang-barang yang nantinya akan rusak, dan kita pun tidak merasa puas dengan berang-barang tersebut. Mereka lebih mengarahkan anak-anaknya untuk memuaskan diri dengan makanan. Bapak saya pernah berkata “Kita kerja agar bisa makan, dan kita bisa hidup karena makan.” Oleh karena itu, anak-anak mamah dan bapak lebih puas belanja banyak makanan daripada pakaian, tas, atau sepatu. Bapak saya juga selalu mengajarkan untuk selalu bersikap rendah hati dan tidak membeda-bedakan teman. Kalau mendapat rezeki, bapak selalu mencontohkan bagaimana caranya berbagi dengan orang-orang yang kurang mampu. Salah satunya lewat makanan.

Sebenarnya, sewaktu masih sekolah dasar, bobot tubuh saya terbilang ideal. Namun, karena saya bersekolah di lingkungan masyarakat dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, saya terbilang gemuk apabila dibandingkan dengan teman-teman sekolah saya yang lainnya. Saya sering terpuruk karena ejekan dari teman-teman saya di sekolah. Ejekan-ejekan tersebut tak berhenti saya terima dari SD sampai SMP hanya karena saya berbadan gemuk. Mungkin, kegemukan bagi mereka adalah semacam aib yang sangat memalukan. Sekali lagi, bapak dan mamah saya selalu membuat saya terus bertahan menerima ejekan-ejekan itu. Mereka mengajarkan saya agar terus ikhlas dan bersabar.

Menginjak pendidikan SMA, saya berkelana ke Garut kota. Saya bersekolah di salah satu sekolah terbaik di wilayah Garut. Saya tinggal di rumah saudara selama setengah tahun. Akan tetapi, dikarenakan satu dan lain hal, saya meminta kepada orangtua untuk tidak lagi menyusahkan saudara saya tersebut dan lebih memilih hidup sendiri di sebuah kosan. Dari kehidupan kosan, saya mulai belajar mengatur kehidupan sendiri tanpa bantuan dari siapapun. Saya pun mulai mengetahui bahwa saya sangat senang berada di dapur dan bereksperimen dengan bahan makanan yang ada. Sangat menyenangkan memiliki keluarga dan teman-teman baru yang bisa diajak untuk memasak bersama di akhir pekan, dan hasil masakannya kita makan bersama. Itu lebih indah daripada makan bersama saudara sendiri yang kita tidak tahu apakah dia ikhlas memasakkan makanan tersebut atau tidak. Kegemaran memasak saya sangat didukung oleh mamah dan bapak. Setiap pulang di musim liburan, selalu tersedia bahan makanan yang bisa saya olah di dapur.

Orang gemuk identik dengan banyak makan. Saya sangat tidak setuju dengan pernyataan itu. Justru menurut saya, gemuk tidak selalu berbanding lurus dengan pasokan makanan berat yang diterima perut mereka. Orang-orang selalu menghakimi secara sepihak tanpa memperhatikan sisi lainnya. Saya sendiri hingga sekarang masih makan sewajarnya, dua kali sehari dengan porsi wajar pula. Hanya saja, saya suka mengumpulkan cemilan. Disaat merasa tertekan baik oleh tugas kuliah atau masalah, saya melampiaskannya dengan makan cemilan. Cemilan tidak akan lupa saya cantumkan dalam daftar belanjaan bulanan.

Latar belakang saya menulis tulisan ini adalah teman-teman dekat saya sendiri. Saya pikir, setelah menginjak dunia perkuliahan, saya tidak akan menerima ejekan-ejekan lagi. Kita sudah cukup dewasa untuk tidak menilai orang secara fisik. Tetapi, ejekan-ejekan itu masih tetap ada dengan ‘kemasan’ yang baru.
Ketika belanja bulanan bulan ini, ada seorang teman yang ingin turut serta. Teman saya kaget melihat belanjaan saya. Dia bilang “wid, kapan mau berubahnya kalau belanjaannya kayak gitu semua?” ada juga beberapa teman yang menyarankan banyak produk pelangsing untuk merubah saya menjadi apa yang MEREKA inginkan.

Saya menikmati menjadi diri saya sekarang, saya tidak menyesali apa yang sudah tuhan berikan, dan saya tidak ingin merubahnya. Kenapa mereka yang repot-repot ingin merubah saya? Mereka malu berteman dengan saya? Lantas, kenapa mereka mau berteman kalau mereka malu? Berteman saja dengan orang-orang berbadan ideal. Selesai perkara. Mungkin saya pernah terhasut untuk menjadi apa yang MEREKA inginkan, tapi mamah saya terus-terusan mengingatkan, “ada masanya teteh berubah. Saat ini bukan masa yang tepat. Jadi, buat apa dipaksakan untuk berubah?”

Intinya, silakan anggap saya orang asing kalau memang malu berteman dengan saya. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar